Ditulis: Vinsensius Bawa Toron, S.Ag., M.Th
Dosen STP Reinha Larantuka
Email:toronvinsen@gmail.com
Nomor Hp:082237333671
Aksi demo tertanggal 3 September 2021 oleh Puluhan pastor, suster dan guru di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), memprotes kebijakan Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (PKO) Kabupaten Sikka yang menarik para guru ASN dari sekolah-sekolah swasta menjadi berita hangat dibicarakan pada kalangan masyarakat khususnya oleh guru-guru ASN, guru tetap dan kontrak milik Yayasan Katolik.
Lima tuntutan dalam aksi demo, pertama; kembalikan semua guru ASN yang ditarik dari sekolah swasta sejak tahun 2020-2021. Kedua; menghentikan membuka sekolah baru, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta. ketiga, kembalikan kewenangan yayasan sebagai mitra kerja pemerintah. Keempat; mencopot Kadis PKO Sikka dan Kepala Bidang GTK dari jabatannya. kelima, jika semua tuntutan tidak diindahkan, maka semua guru ASN akan dikembalikan ke pemerintah dari Paud-SMA ke pemerintah, dan menghentikan semua kegiatan KBM di sekolah swasta.
Mencermati lima tuntutan, bagi saya adalah konsep berpikir yang dilatari “emosional, ketidakpuasan, ketidaksiapan” terhadap aturan pemerintah. Sekolah swasta punya peranan penting membantu mencerdaskan anak bangsa, tetapi perannya tidak disertai kesiapan menerima kenyataan atas aturan regulasi pemerintah dan era industri 4.0. Merujuk pada Undang-undang nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “ASN adalah profesi bagi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah”. Saya membaca satu persatu isi undang-undang sebanyak 66 halaman, saya tidak menemukan kebijakan pemerintah yang mengatur ASN diperbantukan di instansi swasta.
Seperti disampaikan oleh uskup Silvester San pada konferensi sekolah katolik Flores dan Lembata pada tanggal 20-23 Juni 2019, bahwa “sekolah katolik telah mengalami degradasi mutu. Beberapa tahun belakangan NTT berada pada posisi 32 dari 34 provinsi. Sekolah Katolik tidak perlu mengeluh dan meratapi situasinya dan mestinya optimis menghadapi tantangan industri 4.0”. Pernyataan Uskup Silvester San, dapat diasumsi, sekolah swasta lebih mengandalkan spiritual, kasih sayang dari pihak ketiga (pemerintah), dan bergerak lamban menyiapkan SDM para guru-guru yang mungkin salah satu indikatornya adalah ketidaksiapan kemandirian secara finansial (bandingkan standar Ban PT: SDM dan investasi masa depan sekolah).
Rm. Eduardus Jebarus Pr, menulis sejarah tentang hadirnya sekolah katolik di Flores, dalam tulisannya dibangunnya sekolah katolik sebagai hadiah dan dukungan dari para misionaris eropa terhadap masyarakat pribumi. Tujuan utama para misionaris mendirikan sekolah, merekrut orang-orang pribumi menjadi imam. Saya mengikuti perkembangan sekolah pada umumnya sesuai dalam data sejarah sejak tahun 1965 sampai 1980, Gereja terus mengembangkan misinya mendirikan sekolah-sekolah sampai di pelosok-pelosok pedalaman agar anak-anak pribumi juga mandapatkan pendidikan yang layak. Tidak hanya mendirikan sekolah, tetapi menyekolahkan tenaga guru dengan gaji yang cukup fantastis, mendirikan rumah sakit dan menyekolahkan tenaga medis, mendirikan balai latihan kerja. Tidak heran Flores dikenal dengan sekolah katolik bukan sekolah negeri.
Sesuai realitas data yang dilihat saat ini, kerja misi Gereja lokal boleh dapat dikatakan berhasil. Salah satu alat ukur keberhasilan adalah setelah sejak era kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1990 an para ASN yang duduk dalam birokrasi pemerintah adalah tamatan dari sekolah katolik. Negara tentu mengapresiasi misi Gereja yang telah membantu mencerdaskan bangsa. Sekolah katolik berbangga keberhasilan masa lampau, tetapi kebanggaan sekolah katolik saat ini lebih menuntut keadilan dari negara. Saya mengikuti seminar bedah buku milik DR. Kircberger di Aula STFK Ledalero tahun 2016. Salah satu ASN dari kalangan birokraat di Sikka bertanya pada DR. Kricberger demikian: “saya melihat saat ini ada perubahan yang sangat besar terjadi dalam Gereja mengelola asetnya, sehingga mutu sekolah- sekolah katolik semakin merosot dan rumah sakit pun demikian, terutama rumah sakit Lela. Hampir tidak ada pasien, padahal dikenal sebagai rumah sakit terkenal di Flores. Kalah saing dengan rumah sakit pemerintah”. Jawaban singkat DR. Kircrbeger, “dulu negara masih miskin, sekarang negara sudah kaya, silahkan negara melayani masyarakatnya. Misi Gereja hanya membantu negara”.
Pernyataan DR Kircberger, perlu garisbawahi bahwa misi Sekolah katolik hadir membantu Negara. Negaralah yang mengatur mencerdaskan, memberikan penghidupan dan jaminan yang layak kepada rakyatnya sesuai dengan undang-undang. Negara mempunyai tanggungjawab mendirikan sekolah-sekolah negeri sampai di pelosok-pelosok dan merekrut ASN sebanyak-banyaknya untuk mencerdaskan bangsa. Termasuk tawaran pemerintah terhadap sekolah katolik agar dinegerikan tetapi nuansa katolik dan kurikulumnya, sesuai dengan kekatolikkan, misalnya SDK Negeri, SMPK Negeri, SMAK Negeri. Jika sekolah Swasta katolik yang tidak mau dinegerikan dan masih bertahan membantu pemerintah mencerdaskan bangsa, bagi saya, silahkan menyiapkan sumber daya yang memadai.
Dampak luasnya dari mempertahankan status sekolah swasta adalah terjadi pengangguran dan kehidupan layak bagi guru-guru katolik. Pengalaman perekrutan ASN untuk guru-guru di Flores, mengapa setiap tahun kuota semakin berkurang?. Perlu dimengerti bersama, pemerintah tidak menghitung sekolah swasta sebagai sebagai kuota kebutuhan ASN, tetapi hanya menghitung sekolah negeri. Saya tidak memaparkan secara rinci data setiap kabupaten, tetapi saya menggambarkan secara garis besar bahwa yang terjadi saat ini, di setiap sekolah negeri, pada umumnya tidak mengalami kekurangan guru negeri bahkan kelebihan guru negeri. Sesuai laporan tahunan setiap sekolah swasta dan negeri, ribuan guru-guru honorer di Flores masih mengharapkan diangkat menjadi ASN, dimanakah tempat mereka mengabdi?. Pada umumnya mengabdi di sekolah Swasta. Sekolah swasta yang dimengerti oleh pemerintah, secara finansial mampu membiayai guru yang bersangkutan. Pemerintah hanya menghitng guru-guru hononer yang ada di sekolah negeri. Tentu berimbas pada kuota guru menjadi ASN setiap tahun berkurang.
Saya boleh mengatakan demikian, jangan memaksa ASN kembali ke sekolah swasta dan jangan menyiksa guru honorer pada sekolah swasta. Jangan siksa dengan gaji di bawah UMR, karena guru butuh hidup, butuh bersosialisasi, punya anak, punya istri/suami. Masa depan anak ada pada profesi yang diemban. Jika hanya mementingkan egosentris, kita sedang menuai badai baru, mencelakakan Gereja kecil (keluarga) dan bangsa ini, dan menunduk pada hirarki yang kaku dengan dogma yang tidak pada kontekstual. Siapakah yang harus diselamatkan, yang tertindas dan tidak berdaya? atau keselamatan itu adalah semu atau selogan yang disuarakan untuk menutupi diri dibalik tembok tinggi?. Jangan kita bertahan pada masa lalu, tetapi bertataplah pada era digital, karena era digital telah menghantar orang untuk berpikir kritis dan mencari sesuatu yang praktis untuk kemanusiaan yang adil dan beradab, bahagia dan sejahtera. Salam