Teropongindonesianews.com
Andreas Neke
Pemerhati Sosial, Tinggal di Bajawa, NTT.
Beberapa hari terakhir ada satu catatan menarik dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat Kabupaten Ngada di satu sisi dan Gereja Keuskupan Agung Ende di sisi lain.
Masalah tersebut erat kaitannya dengan pelayanan perayaan sakramen Gereja di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masih mengintai keselamatan manusia.
Persoalan utamanya bukan pelayanan perayaan sakramen itu sendiri, tetapi kegiatan ikutan setelah perayaan sakramen di gereja.
Ini bertalian langsung dengan kebiasaan masyarakat Kabupaten Ngada yang sering mengadakan pesta setelah perayaan sakramen, entah itu Permandian, Komuni Pertama, maupun Perkawinan.
Kebiasaan pesta ini kemudian menjadi perbincangan serius di tengah masyarakat, entah secara langsung maupun melalui media maya seperti facebook.
Kolaborasi PEMDA dan Gereja
Setelah pemberlakuan PPKM level 4 dimana terjadi pembatasan kegiatan kemasyarakatan, termasuk pembatasan kegiatan keagamaan, dengan menimbang berkurangnya kasus penyebaran Covid-19, pemerintah kemudian kembali membuka akses kegiatan kemasyarakatan, termasuk kegiatan keagamaan secara terbatas dengan tetap harus menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Instruksi Bupati Ngada Nomor 3 tahun 2021 menjelaskan tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Pada poin KESATU bagian i diuraikan bahwa pelayanan keagamaan seperti: baptisan, komuni pertama, pernikahan, khitanan, sidi, ibadah kematian dan kegiatan sejenisnya dan kegiatan keagamaan seperti: koor, kegiatan kelompok umat basis dan lain-lain yang berdampak menimbulkan kerumunan, ditiadakan.
Ini berarti bahwa walaupun kondisi Kabupaten Ngada sudah masuk ke level 3 yang ditandai dengan berkurangnya jumlah pasien yang terpapar Covid-19, tetap saja pemerintah daerah masih membatasi kegiatan kemasyarakatan untuk menghindari meningkatnya kasus Covid-19 di Kabupaten Ngada.
Selaras dengan itu, Gereja Keuskupan Agung Ende kemudian mengeluarkan SK Nomor: 005/SK/KUS/VIII/2021 pada tanggal 1 September 2021, oleh Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Pr, umtuk memberikan panduan praktis bagi pelayanan Gereja di tengah pandemi Covid-19.
Poin yang kemudian menjadi persoalan serius di tengah masyarakat bertalian langsung dengan dikeluarkannya SK tersebut, terutama pada poin 4.6 yang menyatakan bahwa penerimaan sakramen dan atau keluarga wajib menandatangani surat pernyataan kepada Satgas penanganan Covid-19 setempat di hadapan pastor paroki untuk tidak menyelenggarakan pesta syukur yang berpotensi mengumpulkan banyak orang.
Sehubungan dengan itu, para pastor paroki hendaknya selalu berkomunikasi dengan pemerintah setempat melalui satgas penanganan Covid-19 agar memastikan pengawalan atas pelaksanaan pernyataan keluarga untuk tidak menyelenggarakan pesta syukur.
Tanpa surat pernyataan tersebut, pelayanan sakramen tidak boleh dilayani.
Dari isi SK di atas, menjadi amat terang bahwa yang menjadi tekanan utama adalah penyelenggaraan pesta syukur yang berpotensi mengumpulkan banyak orang, tetapi bukan pada perayaan sakramen Gereja.
Dan dalam praksisnya, Gereja masih tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat termasuk membatasi jumlah umat untuk beribadah dalam Gereja.
Gereja tetap pada prinsipnya yakni menjaga kehidupan dengan tidak membiarkan umatnya terpapar Covid-19 yang dapat mengancam keselamatan nyawa manusia.
Atau dengan perkataan lain, Gereja tetap mencintai dan menjaga budaya kehidupan dengan menghindari budaya “sakit” dan kematian.
Ini berarti pula bahwa baik PEMDA maupun Gereja tetap secara bersama-sama menjaga masyarakat dan umatnya untuk hidup dalam situasi yang kondusif. PEMDA menghendaki masyarakatnya sehat, demikian halnya dengan Gereja.
Semua mencintai subyek yang sama walaupun dalam peran yang berbeda, yakni sebagai masyarakat dan umat.
Tidak Populis Demi Kemanusiaan
Kita kembali lagi ke persoalan yang menjadi polemik di tengah umat yakni larangan mengadakan pesta syukur yang berpotensi mengumpulkan banyak orang.
Bahwa sebagian masyarakat/umat menolak kebijakan ini dengan dua alasan mendasar yakni Covid-19 dibuat-buat dan umat mengadakan pesta dengan uangnya sendiri bukan uang Gereja atau pemerintah.
Dari argumen yang dibangun menjadi amat jelas bahwa masyarakat cenderung tidak peduli dan tidak mau tahu dengan situasi global yang mengancam kemanusiaan, dan di sisi lain masyarakat tetap mau hidup dalam pola hidup lama, yang justru sangat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan, terutama menyangkut aspek ekonomi dan keselamatan peradaban kemanusiaan
Berhadapan dengan situasi .faktual ini, Gereja kiranya tetap berani menjadi tidak populis walaupun mendapat kritikan dan penolakan dari kalangan umatnya sendiri.
Hal yang paling mendasar adalah nilai kehidupan. Dan demi nilai kehidupan, Gereja kiranya tetap menjalin relasi harmonis dengan pemerintah untuk bersama-sama mengambil kebijakan yang mendukung nilai kemanusiaan.
Gereja dari masa-masa sering tidak populis dalam kebijakkannya. Banyak contoh pembandingnya.
Namun sekali lagi, Gereja biasanya tetap rela menjadi tidak populis demi nilai kehidupan dan kemanusiaan.
Hal yang sama berlaku dalam kasus larangan pesta syukur yang dapat memicu meningkat kembali kasus penyebaran Covid-19.
Gereja tetap akan melayani pelayanan sakramen dengan menerapkan protokol kesehatan ketat, tetapi tetap mengajak dan menghimbau umatnya untuk tidak merayakan pesta syukur, termasuk bersama-sama dengan negara (Pemda) melarang perayaan syukur yang akan mengancam nilai kehidupan dan kemanusiaan.
Andreas