Teropongindonesianews.com
Salomon Legho, S.Pd.
Cakades Wokowoe, Nangaroro, Nagekeo
(Nomor Urut III)
Salah satu kontestan Calon Kepala Desa (Cakades) Wokowoe adalah Salomon Legho, S.Pd. Putera bungsu pasangan Mama Sofia Soda dan Bapak Andreas Jawa ini memiliki komitmen dan idealisme bagi tanah air, wilayah desa kelahirannya: Wokowoe. Karena itu ia “pulang kampung”.
“Pulang kampung” bagi Cakades yang sangat energik dan pernah mengenyam pendidikan tinggi di UNIKA Widya Mandira Kupang ini adalah momentum dan kesempatan BERBAGI, BELAJAR dan BERBAKTI bagi masyarakat Wokowoe. Segudang pengalaman berorganisasi baik di Kampus saat kuliah (pernah wakil ketua Senat dan wakil ketua BEM Unika Kupang, Sekretaris Senat Bahasa Ingris Unika Kupang, dll) maupun di luar kampus, PMKRI (Wakil ketua bidang pengembangan organisasi PMKRI) adalah bekal berharga untuk terus berbagi, terus belajar dan terus berbakti bagi dan bersama masyarakat Wokowoe.
Namun momentum dan kesempatan untuk terus berbagi, terus belajar dan terus berbakti bagi masyarakat Wokowoe itu bukan tanpa arah. Bagi Mon, (demikian pagilan akrabnya) memiliki Visi dan Misi adalah prasyarat mutlak dalam sebuah kompetisi perebutan mandat dan kedaulatan rakyat.
Masyarakat berhak mendapatkan apa saja visi atau mimpi-mimpi besar yang terukur dan terarah sehingga paling kurang dapat mengantar mereka keluar dari kemelut dan tantangan kehidupannya, demikian dalam perbincangan via WhatsApp.
Putra bungsu dari keenam bersaudara itu sadar betul bahwa idealisme dan cita-cita perjuangan itu hanya bisa mungkin direalisasikan jika masyarakat menghendaki dan mempercayainya untuk boleh berbagi, boleh belajar dan boleh berbakti bagi masyarakat.
Ia menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan masyarakat Wokowoe. Hanya jika masyarakat menghendaki dan mempercayainya, hanya dalam kebersamaan dan bersama mereka, semua cita-cita dan idealisme perjuangan akan tercapai.
Tidak ada keberhasilan dalam idealisme, cita-cita dan mimpi-mimpi besar untuk masyarakat tanpa “to’o jogho-wangga sama” (gotong-royong, kerja sama) bersama dengan masyarakat.
Bagi ayah dua anak, yang sering nongol di pesta-pesta sebagai Keyboardis dan vokalis tunggal, Visi adalah ideal sebuah perjuangan untuk berbagi dengan masyarakat, untuk belajar bersama masyarakat dan untuk berbakti bagi masyarakat.
Dan Desa Wokowoe adalah sebuah medan, media sekaligus modal baginya untuk terus berbagi, untuk terus belajar dan untuk terus berbakti bagi masyarakat.
Karena itu “Pulang Kampung” untuk sebuah kompetisi politik adalah sebuah keberanian dan kesempatan. Ia berani meninggalkan profesinya sebagai guru bahasa Ingris pada sebuah SMA Swasta di Kecamatan Golewa-Ngada.
Sebuah keberanian yang didorong oleh karena memiliki visi dan misi agar potret Desa Wokowoe bisa berubah dan diubah dalam kebersamaan dengan spirit “to’o jogho-wangga sama” jika masyarakat mempercayakan hak dan kedaulatannya.
Baginya, “pulang kampung” adalah kesempatan BERKONTRIBUSI bagi masyarakat. “Pulang kampung” kali ini bukan hanya kesempatan BERORKESTRASI dan BERKOMPETISI dalam politik sebagaimana dimungkinkan oleh aturan dan perundang-undangan.
Cakades muda ini sadar bahwa kompetisi itu sangat dinamis bahkan mungkin nisbih.
Tapi sebagai sebuah kesempatan, peluang harus bisa dimanfaatkan walaupun riskan. Siapa tahu, hanya Tuhan yang tahu, kesempatan yang riskan bisa berbuah menjadi berkah yang berharga bagi masyarakat. “Tempus gratia est, Time is grace”: Waktu adalah berkah.
Karena itu baginya memomen ini adalah sebuah peluang, kesempatan politis untuk berkompetisi secara sehat dengan tujuan untuk terus berbagi, terus belajar dan terus berbakti.
Putra muda kampung Bheda Mbamo yang tak asing lagi bagi anak-anak muda karena memiliki bakat di berbagai bidang, terutama olah raga, tarik suara dan seni musik serta piawai sebagai organis atau keyboardis mengusung visi, cita-cita ideal perjuangannya dalam spirit “To’o Jogho-Wangga Sama” adalah sebagai berikut:
“GOTONG ROYONG MEMBANGUN DESA MANDIRI YANG JUJUR, ADIL, BERBUDAYA, BERAKHLAK MULIA SERTA SEJAHTERA DALAM BIDANG PERTANIAN, PETERNAKAN DAN PARIWISATA”.
Gotong Royong.
Menarik dari visi yang diusung ini adalah dimulai dengan kata “Gotong Royong”. Masyarakat Wokowoe, Nangaroro dan Nagekeo pada umum menyebut “gotong royong” dengan kalimat “To’o Jogho-Wangga Sama”.
“To’o Jogho-Wangga Sama” adalah sebuah filosofi kehidupan dan kearifan lokal masyarakat setempat. Sebuah filosofi dan kearifan yang menegaskan bahwa gotong royong begitu penting untuk mencapai idealisme, cita-cita perjuangan dalam membangun kehidupan masyarakat yang mandiri.
Sebagai Calon Kepala Desa, Mon sadar benar bahwa Visi-Misi perjuangannya hanya bisa dicapai jika spirit “To’o Jogho-Wangga Sama” menjadi api yang terus menyala dan menghangatkan seluruh perjuangan dan suka-duka kehidupan masyarakat.
Api ini harus menjadi api utama, yang harus terus dihidupkan dan dinyalakan jika masyarakat menghendaki kemajuan pada wilayahnya.
Api ini juga harus disadari bersama bahwa nyalanya makin suram karena arus modernisasi dan indvidualisme yang kian merambat ke pedesaan dan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Sebagai anak muda, calon termuda, Mon sudah jeli melihat bahwa “To’o Jogho-Wangga Sama” yang merupakan kebijaksanaan dalam kebersama makin pudar. Dan ini adalah tantangan bersama.
Karena itu, ia memulai “Visi” perjuangannya dengan kata yang sarat makna yakni “Gotong Royong”, To’o Jogho-Wangga-Sama”.
Cakades Mon, tahu dan sadar betul bahwa pembangunan dalam berbagai bidang menuju desa mandiri, terutama bidang Pertanian, Peternakan dan Pariwisata di desa hanya bisa diwujudkan jika semangat “to’o jogho-wangga sama” alias gotong royong dan kerja sama dalam masyarakat terus dijaga dan dikobarkan.
Cita-cita yang tertuang dalam misi dan dalam berbagai program kegiatan demi kemandirian desa hanya bisa berhasil jika “To’o Johgo-Wangga Sama” menjadi roh yang menghidupkan dan api yang membakar semangat kebersamaan dan kerja-kerja kepemerintahan bersama masyarakat.
“To’o Jogho-Wangga Sama” harus menjadi kebijaksanaan dan kearifan dalam praksis dan seluruh hajatan kehidupan masyarakat dan pemerintah desa di desa. “To’o Jogho-Wangga Sama”, tidak hanya sebatas kata-kata dan slogan.
Ia harus hidup dan menjiwai seluruh hajat hidup masyarakat dan kerja-kerja pelayanan pemerintah desa dan aparatnya bersama masyarakat.
Bersambung…….!!
Penulis:Dionisius Ngeta,S.Fil