Teropongindonesianews.com
“Cuma mungkin aku culture shock kali ya. Karena latar belakang aku tidak pernah punya pacar orang selain Dayak walaupun ayahku orang Flores. Namun saya belum memahami sepenuhnya tentang adat Flores, maklumlah aku dibesarkan dalam lingkungan Dayak mengikuti culture mamaku.”
Marau, Ketapang, Kalimantan Barat. (Kamis, 23 Mei 2021)
Sebelum Son Gele merantau dari kampung halamannya (Kampung trans) di Buol, Sulawesi Tengah, ke Kalimantan Barat, sang ibu mengajaknya bicara empat mata. Sebagai keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat suku Ma’u (salah satu suku d Flores), barangkali ibu Son khawatir jika anaknya kepincut dengan gadis di Dayak yang memang mempesona.
Sama seperti mayoritas keluarga Ma’u lainnya, Ibu Son tentu lebih senang jika anak-anaknya memiliki pasangan yang juga berasal dari suku Ma’u. Kisah cinta di dalam suku Ma’u memang pelik.
Tak jarang para orang tua melarang anaknya berpasangan dengan orang di luar sukunya. Pandangan yang kuno dan tak lekang oleh waktu ini akhirnya pupus. Sebab, dewasa ini pernikahan beda suku menjadi trend tersendiri bagi kaum muda.
Kandasnya kisah cinta antara Ma’u dan non Ma’u karena terhalang restu orang tua sudah tak asing didengar.
Tapi namanya juga cinta, Son tidak pernah mengira dengan siapa selanjutnya ia akan menaruh perasaannya. Meski sang ibu telah berpesan demikian, Son malah jatuh hati pada pandangan pertama dengan seorang perempuan yang ia temui di acara gereja.
Saat itu, Son yang merupakan seorang anggota koor hadir di gereja untuk latihan sekaligus persiapan penyambutan yang mulia uskup keuskupan Ketapang. Dalam kesempatan itu keduanya menaruh hati pada sebuah rasa yang sama yaitu jatuh cinta.
Kelanjutan kisah mereka bisa ditebak. Mulai dari PDKT sampai akhirnya mereka pacaran. Berbeda dengan Son, Sophi berasal dari keluarga yang multikultural.
“Papa itu orang Mbay- Nagekeo, Flore, NTT dan mama itu asli Dayak, pokoknya saya dibesarkan dalam keindonesiaan lah, ada floresnya sedikit walaupun itu tidak seratus persen saya pahami” ujarnya.
Enam tahun Son dan Sophi menjalani pacaran jarak jauh. Bukan hanya latar belakang budaya yang berbeda, namun juga perbedaan usia keduanya terpaut cukup jauh. Menyatukan dua pribadi dengan begitu banyak perbedaan tentu bukan hal mudah.
Jika orang Florrs dikenal dengan suaranya yang lantang dan keras. Hal ini justru tidak dirasakan oleh Sophi. “Justru aku lebih keras dari pada dia. Dalam hal itu aku lebih Flores daripada dia. Lebih keras kepala, mungkin karena saya masih memiliki darah Flores kali ya” tawa Sophi yang berprofesi sebagai guru ini.
Setelah pertimbangan yang panjang, mereka berdua akhirnya Son membawa keluarganya unutk bertemu keluarga Sophi. Tahap awal dilakukan musyawarah untuk memutuskan adat istiadat yang akan dipakai dalam proses pertunangan keduanya. Setelah berdialog dan bermediasi cukup alot akhirnya kedua pihak keluarga memutuskan untuk menggunakan adat Dayak.
Hadir dalam acara tersebut Dewan Adat Dayak (DAD) Bapak Lukas Seron sekaligus juru bicara dari pihak perempuan. Dalam musyawarah tersebut Bapak Lukas menyampaikan bahwa pertemuan malam ini merupakan musyawarah penentuan untuk “pinang pinta” yang mana nantinya pihak laki-laki akan menyerahkan mahar pernikahan kepada pihak perempuan untuk selanjutnya nanti nikah adat dan sekaligus peresmian nikah Gereja.
Musa Rega selaku juru bicara pihak laki-laki sekaligus merupakan assisten RSPO dari perusahaan Sinarmas mendukung penuh dengan keputusan yang diambil oleh kedua keluarga. “kami dari pihak laki-laki mengikuti adat istiadat dari keluarga perempuan, sebab dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
Keduanya telah merencanakan pernikahannya di bulan Mei 2022. Prosesi pernikahan yang panjang dan melelahkan harus mereka lewati karena kedua belah pihak keluarga meminta menikahkan anaknya dalam prosesi adat.
Keduanya akan dikukuhkan dalam adat Dayak yang terkesan sakral dan mengagungkan. Apalagi bagi mereka yang menjunjung tradisi turun-temurun dari keluarga, menghadirkan upacara pernikahan yang sesuai dengan adat istiadat adalah suatu hal yang membanggakan dan penuh kesakralan.
Meski melewati prosesi panjang, hal ini tidak membuat Son Gele dan Sophi kapok. “Justru aku senang sekali dengan keluarga Sophi yang masih menjunjung tinggi adat istiadat. Dan Jangan takut nikah beda suku karena menurut aku perbedaan itu bisa melengkapi satu sama lain,” ungkap Son Gele.
Kedua keluarga menyepakati bahwa prosesi nikah Adat akan berlangsung di rumah kediaman pihak perempuan dan apabila ada hal yang belum jelas, kedua juru bicara dari pihak laki-laki dan perempuan boleh saling berkomunikasi.
Hal ini bertujuan agar segala bentuk perbedaan dapat disatukan sehingga pernikahan beda suku itu tidak menjadi sebuah kendala atau penghambat bagi kaum muda yang mungkin saat ini punya belahan jiwa yang berbeda suku.
Bung Aan