Teropongindonesianews.com
(Catatan Setelah Pilkades)
Oleh John Orlando
Alumnus FFA Unwira – Kupang
Beberapa desa baru saja melaksanakan pemilihan kepala desa. Demokratisasi menjadi alat memilih pemimpin yang baik dan yang pastinya akan menuju desa yang lebih baik pula.
Arah pembangunan desa terpampang dalam visi-misi para calon kepala desa yang telah ‘menjual’mimpinya pada masyarakat desa ketika masa kampanye dan debat public. Kini, mimpi dan cita-cita desa 6 tahun ada dalam visi dan misi Kepala Desa terpilih.
Saya teringat disalah satu desa, seorang pemuda pernah berujar setelah selesai pilkades di desanya: “Semoga desa kami ke depan, di kepemimpinan yang baru ini menjadi lebih baik dari sebelumnya”. Bagi saya ini harapan besar sekaligus sebuah doa bagi desanya.
Harapan seorang pemuda seperti saya ceritakan di atas, adalah juga harapan masyarakat desa setalah pilkades di desanya masing-masing.Masyarakat Desa sebagai objek dan subjek pembangunan menaruh harapan besar pada pemimpin pilihannya.
Sebuah harapan, tentang Pendidikan, kesehatan, pertanian, peternakan, air bersih, sanitasi dan segala macam kebutuhan masyarakat sebagai perwujudan kesejahteraan dan pemenuhan hajat hidup masyarakat diletakan pada pundak kepala desa terpilih.
Kepala desa terpilih, akan menerjemahkan visi dan misi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa 6 Tahun. Mimpi-mimpi akan terurai dalam sebuah dokumen perencanaan yang akan digunakan sebagai fondasi dan dasar segala pembangunan Desa selama kepemimpinannya.
Mengapa semua harapan itu ada di Kepala desa terpilih? Karena Kepala Desa serta perangkat desa lainnya yang juga diawasi oleh BPD atau Badan Permusyawaratan Desa memiliki kekuatan hukum dalam menjalankan pemerintahannya.
Hal itu tercantum dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang harus dipahami oleh Kepala Desa dan segenap perangkat pelaksana pemerintahan dan pembangunan di desa.
Desa membangun
Saya menyebutnya “Desa membangun”, mengapa? Karena didalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Paradigma pembangunan sudah berubah, dari membangun desa jadi desa membangun.
Desa sudah mendapat pengakuan dengan lahirnya UU yang memberikan porsi untuk memprioritaskan desa. Paradigma ini memungkinkan warga desa menentukan sendiri prioritas dan visi pembangunannya karena keputusan dilakukan dalam Musyawarah Desa.
Kepala Desa terpilih harus memahami dengan sungguh bahwa ada perubahan besar pada semangat pembangunan desa saat ini. Terutama sejak disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini menempatkan desa sebagai subyek pelaku pembangunan.
Kini Kepala desa Bersama perangkatnya serta warga desa melalui struktur yang ada memiliki wewenang penuh menjalankan pembangunan desa. Modalnya tidak main-main, selain asset dan potensi yang ada di desa juga ditambah dana desa yang jumlahnya tidak main-main pula.
Situasi ini berbeda dengan pola pembangunan desa yang dulu dijalankan sebelum lahirnya UU Desa. Dahulu desa dianggap hanya sebagai obyek.
Selama itu pembangunan desa ditentukan oleh struktur di atas desa yakni kecamatan, kabupaten dan provinsi. Desa, sebagai pemilik kedaulatan hanya berperan sebagai penonton.
Akibatnya, pembangunan desa seringkali tidak sesuai kebutuhan dan sebagian besar meleset jauh dari target yang ingin dicapai. Apakah praktek intervensi penentuan penggunaan dana desa dari struktur di atas Desa masih berlaku sampai saat ini atau tidak? Jawaban atas pertanyaan ini harusnya: TIDAK.
Desa kini wajib menentukan kebutuhan dan arah pembangunan desa. Dalam posisi ini, pemerintah yang lebih tinggi bertugas memperkuat, memonitor, dan mengawasi.
Desa, dipimpin oleh Kepala Desa harus bisa mengelola sendiri dana untuk membangun desanya. Ini adalah perubahan paling mendasar dari kehadiran UU Desa. Selain itu, masyarakat desa harus terdorong menjadi mandiri dalam merumuskan langkahnya membangun kesejahteraan desa.
Warga juga harus jauh lebih bersemangat menjalankan pembangunan desanya karena mereka memiliki hak dan wewenang menentukan apa yang desa mereka butuhkan.
Selain hal di atas, kini pembangunan desa juga sudah tidak identik dengan pembangunan fisik lagi. Selama ini pembangunan selalu diartikan sebagai pembangunan fisik.
Soalnya program fisik lebih gampang terlihat dan menimbulkan nilai proyek tertentu sehingga bisa menjadi sumber pendapatan bagi pihak yang mengerjakannya. Kini persepsi itu mulai bergeser.
Pembangunan sudah dipahami sebagai langkah yang juga melingkupi peningkatan sumber daya manusia sehingga program-program penguatan kapasitas SDM yang dahulu dianggap tak penting kini sudah mulai dianggap agenda prioritas yang layak didahulukan.
Kepala Desa terpilih bisa mengubah pola pikir dan pola pembangunan dari prioritas infrastruktur dan fisik ke Pola pembangunan berbasis peningkatan sumber daya manusia desa. Dengannya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) harusnya beranjak naik.
Akhirnya, Kepala Desa adalah seorang pemimpin. Pemimpin adalah ‘pemimpi’ ditambah ‘n’. ‘N’ adalah nyata. Jadi, pemimpin desa adalah orang yang memiliki mimpi besar tentang desanya dan berpotensi untuk mewujudkan mimpinya menjadi nyata.
Jika tidak bisa mewujudkan mimpinya menjadi nyata, maka selamanya ia akan menjadi seorang pemimpi, bukan pemimpin. Pembuktiannya pada tahun-tahun berjalan roda pemerintahan dan pembangunan di desa.
Semoga dikepemimpinan yang baru setelah Pilkades ini, desa menjadi lebih baik dan DESA MEMBANGUN TIDAK SEKEDAR MIMPI. Salam Mer-Desa!
Mer-Desaaaaaa💪