Teropongindonesianews.com
Mesuji, Lampung,- Terkait viralnya pemberitaan yang melibatkan dua orang okum Wartawan Dan Oknum LSM Asal Tulang Bawang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) oleh tim samber pungli polres Mesuji dan Polsek Way Serdang di Pemancingan desa Simpang Pematang Kecamatan Simpang Pematang Kabupaten Mesuji, (Jum’at, 03 Desember 2021), yang dinilai atau diduga rilis pemberitaan tersebut berasal dari pihak humas Polres Mesuji dan terkesan sepihak tanpa adanya keterangan atau hak jawab dari kedua belah pihak,
Yakni kedua oknum terduga tersebut dan oknum Kepala Desa yang bersangkutan, melainkan hanya keterangan dari Kasat Reskrim Polres Mesuji atas nama Iptu Fazrian Rizki yang mewakili Kapolres Mesuji AKBP Yuli Haryudo, menuai konfik dan sorotan para awak media dari berbagai daerah dan organisasi.
Dalam rilisnya, ditulisan tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Dua oknum wartawan tersebut berinisial RH dan J yang bertugas di Kabupaten Tulang Bawang dengan Barang bukti berupa Uang sebesar Rp.6.000.000,- Rupiah.
Adapun salah satu oknum Kepala Desa Lebuhan Batin, Kecamatan Way Serdang M.Ahmad mengatakan memang sudah lama mereka berdua mencari cari kesalahan di desa kami tapi kami masih menanggapi baik kepada kedua oknum wartawan tersebut.
“Mereka awalnya meminta uang sebesar 10 juta di karnakan kami tidak merasa ada kesalahan dalam menggunakan Anggaran atau ada penyimpangan Dana Desa, tetapi mereka berdua malah mengancam akan melaporkan ke tipolikor dan Polres Mesuji”, jelasnya.
Selain keterangan dari Oknum Kades Lebuhan Batin diatas yang dituliskan dalam rilis sebagai saksi, adapun keterangan Kasat Reskrim Polres Mesuji Iptu Fajrian Rizki mewakili Kapolres Mesuji AKBP Yuli Haryudo yang membenarkan adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap dua oknum Wartawan di Simpang Pematang tepatnya di pemancingan.
“Keduanya ditangkap saat melakukan transaksi dengan Kepala Desa di sebuah pemancingan, mereka ditangkap oleh anggota ketika mau melakukan penyerahan uang sebesar Rp. 6.000.000,- dan seketika itu kita amankan kedua oknum wartawan, lalu kita bawa ke Mapolres Mesuji untuk di mintai keterangan” ujar Iptu Fajrian.
Dari kedua statment tersebut, tidak ada keterangan atau hak jawab dari kedua oknum wartawan yang diduga melakukan pemerasan, hal tersebutlah yang akhirnya membuat sorotan kalangan awak media yang menilai pemberitaan sepihak.
Selain hal tersebut, beberapa Forum Kepala Desa Kecamatan Way Serdang, Simpang Pematang dan Mesuji Timur memberikan karangan bunga ucapan untuk kinerja Polres Mesuji dengan tulisan,
“Selamat & Sukses” Atas Penangkapan / OTT 2 Oknum Wartawan oleh Reskrim Polres Mesuji, hal tersebut langsung mendapat sorotan dan menuai konflik serta memancing solidaritas para pejuang tinta yakni para wartawan dari berbagai perusahaan Media dan Organisasi Pers yang mengecam tegas dan menilai hal tersebut secara langsung memojokan dan merendahkan nama baik wartawan secara terang-terangan.
Ketua DPP Jurnalis Online Indonesia (JOIN) Provinsi Lampung, Chandra F. Simatupang langsung merespon dan mengecam tegas kepada para pelaku yang membuat ucapan karangan bunga dengan membawa nama Wartawan yang tidak lain adalah Kepala Desa sendiri yang diduga terlibat dalam hal ini,
Chandrapun menilai pihak Kepolisian Polres Mesuji sepihak dalam menangani kasus tersebut dan diduga kakangi MoU kesepakatan antara Polri dan Dewan Pers yang dimana aparat seharusnya untuk kasus Wartawan harus menerapkan UU Pers,
Karena berdasarkan pasal 15 UU Pers ayat 2 c, keberatan terhadap sebuah karya jurnalistik diselesaikan oleh Dewan Pers dan dilakukan dengan prosedur hak jawab dulu, bukan langsung ditahan dan menerapkan Undang-Undang KUHP apalagi dalam hal ini yang diamankan hanya penerimanya, sedangkan pemberi atau oknum Kades yang terlibat tidak turut serta diperiksa.
“Saya sangat kecewa dan miris dengan adanya pemberitaan yang beredar terkait kasus OTT yang melibatkan dua wartawan di Kabuapten Mesuji beberapa hari yang lalu, namun saya nilai pemberitaan itu terkesan sepihak karena hanya ada keterangan salah satu saksi yaitu oknum Kades dan keterangan Kasat Reskrim Polres Mesuji yang mewakili Kapolresnya tanpa ada keterangan dari kedua oknum wartawan yang terlibat, disisi lain kenapa hanya dua oknum wartawan tersebut saja yang diamankankan dan diperiksa, ada apa dan kenapa dengan pemberinya atau oknum Kades yang tidak turut diperiksa”, ungkapnya.
“Ditambah saat ini beredar pemberitaan sejumlah media yang sangat kecewa atas karangan bunga dari beberapa Forum Kepala Desa yang mengucapkan selamat dan sukses atas OTT dan Penangkapan 2 oknum wartawan yang diamankan oleh Reskrim Polres Mesuji, seolah wartawan itu seperti teroris negara dan dinilai seperti melampiasan ujaran kebencian secara majas litotes yakni memuji pihak lain tapi juga menghina atau memojokan pihak lain secara baik,
Saat ini gara-gara hal tersebut memancing solidaritas para pekerja pers dari berbagai perusahaan media dan organisasi, baik di Kabupaten Mesuji sendiri ataupun Kabupaten lainnya di Wilayah Provinsi Lampung khususnya, s
Selaku Ketua Pengurus DPP Jurnalis Online Indonesia sangat mengecam keras atas kedua hal diatas dan meminta pihak Kepolisian Polres Mesuji untuk mengkaji ulang MoU Dewan Pers dan Polri serta memeriksa si pemberi yang terlibat dalam OTT tersebut”, ucapnya.
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12b ayat (1), setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian terbalik); yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penuntut umum.
Suap dan pungli/pemerasan bukanlah gratifikasi.
Suap terjadi apabila pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas layanan dengan maksud agar tujuannya lebih cepat tercapai, walau melanggar prosedur.
Pemerasan terjadi apabila petugas layanan secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna layanan dengan maksud agar dapat membantu mempercepat tercapainya tujuan si pengguna jasa, walau melanggar prosedur.
Gratifikasi terjadi apabila pihak pengguna layanan memberikan sesuatu kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran, transaksi atau deal untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. Biasanya hanya memberikan tanpa ada maksud apapun.
Dalam kasus suap dan pemerasan, terdapat kata kunci, yaitu adanya transaksi atau deal di antara kedua belah pihak sebelum kasus terjadi, sedangkan dalam kasus gratifikasi tidak ada.
Gratifikasi lebih sering dimaksudkan agar pihak petugas layanan dapat tersentuh hatinya, agar di kemudian hari dapat mempermudah tujuan pihak pengguna jasa, namun hal tersebut tidak diungkapkan pada saat pemberian terjadi.
Istilah ini dapat disebut dengan “tanam budi” si pengguna jasa kepada pemberi layanan.
Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan Suap
Pemidanaan berbagai bentuk pemberian tidak hanya dibebankan kepada penerima, tetapi juga pada pemberi.
Bagi pemberi, pemberian kepada pihak pegawai negeri dapat bertentangan dengan pasal-pasal yang diatur di dalam Undang-Undang 30 tahun 1999 jo Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya pasal 5 ayat (1) dan pasal 13. Pemindaan tersebut terjadi dalam tindak pidana gratifikasi, uang pelicin dan suap.
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Dewan Pers dengan Kepolisian Republik Indonesia yang membedakan penanganan perkara pers dengan perkara lain dianggap belum banyak diketahui polisi di berbagai daerah.
Ketidaktahuan aparat kepolisian terhadap MoU tersebut menimbulkan dampak negatif bagi kegiatan wartawan.
Hal tersebut dinilai menjadi penyebab banyaknya perkara bidang jurnalisme yang justru ditangani berdasarkan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal ini terlihat, dalam beberapa kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap insan Pers yang selama ini banyak terjadi.
“Polisi juga tidak mematuhi MoU antara Kapolri dengan Dewan Pers, bahwa penyelesaian perkara Pers harus melalui UU Pers, jangan langsung menerapkan UU ITE, meski harus dihadapkan dengan UU ITE, kata juga tidak boleh langsung melakukan penahanan”, tegasnya.
“Saya menilainya ini opini. Kalau berita harus ada data dan konfirmasi. Tapi opini juga produk jurnalistik,” katanya.
Chandra pun menduga, dengan banyaknya kasus tindakan kekerasan terhadap wartawan selama ini, terjadi karena aparat tak paham SOP jurnalis dalam bekerja.
Padahal, menurut dia, antara kepolisian dan Dewan Pers sudah ada perjanjian tertulis berupa MoU soal tak boleh adanya tindak kekerasan terhadap jurnalis saat bekerja.
Namun, Chandra menduga, MoU itu tidak berjalan karena saat ada aparat melanggar, tidak ada sanksi yang diberikan, maka berharap MoU antara Dewan Pers dan Polri ditingkatkan lagi menjadi Peraturan Kapolri (Perkap) agar bisa menjadi perhatian khusus bagi seluruh anggotanya jika ada yang melanggar.
“Karena itu kami mendorong MoU polisi dengan Dewan Pers ini ditingkatkan jadi Peraturan Kapolri (Perkap). Jadi kalau ada polisi yang melanggar bisa langsung diberi sanksi oleh Kapolri,” tegas Chandra.
Sapri Biro Mesuji