
Teropongindonesianewa.com
Oleh Dionisius Ngeta, S. Fil Putra Woko-Mbamo Nangaroro Nagekeo
Ritus atau ritual selalu melekat dengan masyarakat adat Woko-Mbamo Nangaroro Nagekeo atau masyarakat adat pada umumnya. Ia merupakan salah satu elemen penting dalam adat istiadat masyarakat. Pada dasarnya ritual merupakan serangkaian kata-kata atau berupa rangkaian tindakan simbolis dengan menggunakan benda-benda, peralatan atau perlengkapan di tempat tertentu dengan pakaian tertentu.
Rangkaian kata dan tindakan simbolis tersebut menunjukkan atau menandakan adanya relasi yang intim dengan berbagai unsur dalam kehidupan sosial masyarakat. Unsur-unsur yang diyakini oleh masyarakat Adat Woko-Mambo sebagai “sesuatu yang lain” itu seperti penguasa langit dan bumi (Nggae reta-ndewa rade), dunia roh (nitu-jimu), para leluhur (sira ta mata mudu-re’e do’e), lingkungan sosial (sao we’e ire reru – tuka nua todo oda) dan alam semesta / kosmos (tana watu). Menurut mereka unsur-unsur itu berhubungan satu dengan yang lain dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial manusia.
Dengan demikian ritual itu dilakukan karena adanya keyakinan akan keterhubungan manusia dengan unsur-unsur tersebut di atas. Selalu terjalin rasa hormat dan relasi yang harmonis dengan unsur-unsur tersebut adalah hal yang mutlak dan selalu dikedepankan dalam kehidupan mereka. Hubungan yang harmonis dengan unsur-unsur tersebut diperhatikan dan dipelihara sungguh-sungguh oleh masyarakat adat. Menjaga kepantasan relasi pergaulan, perilaku, berakhlak dan menjaga kepantasan dalam tutur kata berdasarkan norma-norma dan tatanan nilai yang ada dalam masyarakat adat setempat adalah cara mereka memelihara hubungan baik tersebut. Ungkapan simbolis paralelisme untuk mengingatkan masyarakat adalah wiwi mae mbai paso-dema mae mbai dhajo…, siku mae de’-dima mae deko. Mengeluarkan kata-kata kotor atau melakukan perbuatan melanggar norma adat terhadap unsur-unsur tersebut dapat merusak hubungan dan tatanan sosial yang ada di masyarakat bahkan akan mendapatkan konsekuensi hukum adat. Setiap orang bermawas diri, berhati-hati dan bijaksana dalam mengeluarkan kata-kata atau melakukan sebuah perbuatan.
Karena itu ritual Ura Dera-Poke Sengga yang dilakukan secara simbolis oleh masyarakat adat Woko-Mbamo sesungguhnya melukiskan dimensi sosial-spiritual yang diyakini masyarakat adat atau manusia itu sendiri. Ritual tersebut merupakan konsekwensi dari sebuah perbuatan yang telah melampaui standar/batas norma adat dan tatanan nilai yang ada di masyarakat (sada mere deko dewa-sada reu deko dema) sekaligus merupakan momentum rekonsiliasi sosial budaya. Kerusakan hubungan yang diakibatkan oleh perilaku dan perbuatan itu dapat dipulihkan kembali. Dalam dan melalui ritus itu terlihat jelas ada dimensi privat serentak komunal, individual sekaligus sosial-religius (Durkheim 1915: 226).
Menurut Turner, ritual/ritus yang diadakan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius (Y.W. Wartajaya Winangun,1990). Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong orang-orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial tertentu. Ritus-ritus tersebut akan memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat
yang paling dalam untuk dipatuhi.
Masyarakat adat selalu menyadari keterbatasan dirinya di tengah kosmos dan Penciptanya. Mereka sadar bahwa hidup mereka selalu bersama dengan yang lain dan selalu membutuhkan yang lain. Karena itu ketaatan dan tunduk pada tatanan sosial dan norma budaya yang ada adalah hal yang mutlak. Masyarakat adat selalu membangun relasi secara sadar melalui berbagai ritus, ritual dan simbol-simbol tertentu demi menjamin kehidupan dan kebahagiaannya (David Kertzer, 1988:9).
Karena itu “Ura Dera-Poke Sengga” bagi masyarakat adat Woko-Mbamo adalah sebuah ritual yang mengungkapan dimensi spiritual dan sosial untuk rekonsiliasi sosial budaya sebagai sebuah jaminan agar kehidupan seseorang (pelaku) dan kehidupan sosial menjadi lebih baik ke depan. Rusaknya relasi kekeluargaan, hubungan sosial kemasyarakatan, relasi dengan alam lingkungan dan dengan “ada yang lain” perlahan-lahan dipulihkan kembali.
Pemulihan kembali hubungan tersebut dilakukan karena dampak dari perbuatan itu telah merusak norma adat, tatanan kehidupan sosial masyarakat dan hubungan dengan unsur-unsur seperti yang disebutkan di atas. Atau dalam terminology adat setempat disebut Sada reu-deko dema, Sada mere-deko dewa, Sada re’e-deko raki.
Perbuatan itu, “sada peda” (hubungan terlarang) itu telah melampaui batas, terlampu jauh dan dalam, begitu busuk dan kotornya sehingga berdampak luas pada kehidupan keluarga dan rumah tangga bahkan sosial kemasyarakatan. Mereka menyebutnya dengan analogi simbolis paralelisme Sao mbia-tenda bhegha. Artinya perbuatan atau relasi terlarang tersebut (sada-peda) berdampak pada ambruknya marwah/keadaban dan timbulnya keterpecahan kehidupan rumah tangga dan keluarga yang bersangkutan. Bahkan menimbulkan hal-hal yang merusak masa depan korban dan dapat membahayakan seperti traumatis, perceraian bahkan pembunuhan.
Dampak lain yang ditimbulkan adalah pada kehidupan sosial masyarakat dan ketetanggaan. Ungkapan simbolis paralelisme yang menggambarkan kondisi tersebut adalah: Tenda ngamba-tangi te’nda. Tenda: bale-bale, tempat bercengkraman bersama keluarga atau tetangga/masyarakat. Ngamba: jurang/jarak. Tangi: Tangga. Te’nda: jarak/jurang. Artinya perbuatan tersebut berakibat pada timbulnya jurang atau jarak yang memisahkan hubungan kekeluargaan, kekerabatan, ketetanggaan dan kemasyarakatan selama belum dilakukan ritual “ura dera-poke sengga” tersebut. Pelaku dijauhkan dan diekskomunikasikan dari kehidupan sosial dan kebersamaan dalam masyarakat. Ada jurang yang memisahkan relasi dan hubungan kekeluargaan, ketetanggaan, kebersamaan dalam masyarakat.
Masyarakat adat Woko-Mbamo juga memiliki keyakinan bahwa perbuatan tersebut juga berdampak pada alam lingkungan. Mereka menyebutnya dalam analogi simbolis paralelisme Tana hara-watu bheka, tana nganga-dera dewa. Lingkungan alam sekitar akan mengalami panas panjang dan kekeringan / kerusakan jika tidak dilakukan ritual tersebut. Kemarahan alam pun bisa terjadi sebagai kutukan terhadap perbuatan tersebut. Dalam bahasa adat mereka menyebutnya dengan analogi paralelisme Tana ka’-watu pesa, side wie-bheda keda.
Karena itu ritual Ura dera-Poke Sengga bermakna dan memiliki pesan pemulihan secara sosial budaya sesuai adat istiadat setempat. Dengan ritual tersebut hubungan baik antar elemen-elemen dalam kehidupan masyarakat dan alam sekitar akan perlahan-lahan dipulihankan atau disatupadukan kembali. Marwah/keadaban dan nama baik para pelaku, korban dan unsur-unsur yang ada dalam kehidupan masyarakat diangkat/dipulihkan kembali. Dalam bahasa adat masyarakat Woko-Mbamo mereka menyebutnya “Wadho wado waka-lenggi wado ngara”.
Derajat kewibawaan dan nama baik “sao tenda-toda sao” (rumah-tangga/keluarga), “tuka nua-todo oda” (masyarakat), “ame-embu-kajo” (para leluhur) dan alam lingkungan (tana watu) dipulihkan kembali. Ritual tersebut sekaligus menegaskan dan menandaskan kepada masyarakat bahwa masalah tersebut sudah diselesaikan secara hukum adat setempat dan kasus itu telah selesai.
Karena itu kepada siapapun sebagai masyarakat adat dilarang untuk mengungkit-ungkit lagi kasus tersebut dalam bentuk dan melalui media apapun. Dan yang bersangkutan tidak boleh/dilarang untuk melakukannya lagi. Dengan ritual tersebut permasalahan yang berkaitan dengan hukum adat telah berakhir/selesai.
Masyarakat adat Woko-Mbamo menyebutnya dengan ungkapan: Wa Ne’e ae-Mese Ne’e Dera. Semua sudah selesai bersama pamitnya sang surya. Para pelaku dan semua masyarakat harus bisa belajar dan mulai menatap masa depan dan kehidupan baru di hari esok yang lebih cerah, berkomitmen untuk lebih baik dari sebelumnya.
Yohanis Don Bosko