Teropongindonesianews.com
Oleh: Ardianus Anwarto
“Aku pernah berharap untuk menghilang saja dari dunia ini. Dunia ini terlihat begitu gelap dan aku menangis sepanjang malam. Apakah aku akan merasa lebih baik jika aku menghilang?”
Hidupku mungkin adalah sebuah kesalahan, aku merasakannya demikian. Bisakah segala sesuatunya berubah menjadi lebih baik lagi? Aku yakin bisa. Hanya saja, hal itu memerlukan sedikit waktu dan lebih banyak kesabaran; kau tahu, cercaan dalam sebuah gurauan dan pujian yang mengiris perasaan semua itu benar-benar terjadi. Dalam suatu waktu, terkadang aku tak tahu apa yang harus ku lakukan ketika hal ini terjadi; depresi.
Ya Tuhan, ketika terjebak dalam keadaan seperti ini, apakah yang akan ku lakukan agar Kau merasa senang?
Aku hidup di suatu tempat, jauh dari rumah orang tuaku dan tempat kelahiranku tak lagi ku ingat. Mungkin itu bukanlah hal yang terlalu buruk atau bagaimana menurutmu? Ya, semuanya baik-baik saja. Aku tiba di tempat ini beberapa tahun yang lalu, dengan hanya membawa badan dan keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang hingga hari ini belum juga ku peroleh. Enam kali tahun baru telah terlampaui sejak hari itu. Tapi semuanya masih terkenang dalam ingatanku. Mungkin itulah satu-satunya kenangan hidup yang tetap ingin ku simpan, selebihnya hanyalah kepahitan dan penderitaan. Tuhan, aku tak sanggup jika mengingat semua itu.
Pada masa itu, setiap orang hidup dalam keadaan yang pas-pasan, termasuk juga keluargaku. Ayahku bekerja sebagai seorang petani yang harinya habis di kebun. Setiap hari ia pergi ke sawah dan kembali pada sore hari bahkan malam. Ibuku seorang ibu rumah tangga dan tak bekerja di luar rumah. Setiap pagi, ia akan mengomel dan berteriak jika kami belum terlihat di dalam rumah, karena masih tertidur di hari ynag cerah. Ia akan berteriak hingga kami terlonjak dan tetangga yang kebetulan lewat akan menoleh dan berlalu dengan terburu-buru. Kami, maksudku aku dan saudaraku yang lima tahun lebih tua dari padaku, berlari terbirit-birit ke kamar mandi dan setelah itu berkumpul di meja makan. Sarapan nasi putih dan telur goreng yang itu-itu saja setiap hari ditambah dengan omelan menjadi makanan setiap hari. Itu pengalaman yang kudapatkan ketika aku masih sangat muda. Hingga hari ini, jika aku bertemu dengan saudaraku itu, kami tak pernah melewatkan membicarakan peristiwa itu.
Beberapa tahun kemudian, aku memasuki pendidikan tingkat pertama selama tiga tahun. Sedikit hal yang kuingat saat itu ataupun peristiwa-peristiwa yang ku alami juga tak terlalu menarik. Selain aku hanya bisa mengatakan, aku hanyalah seorang anak sekolahan dan anak rumahan yang membosankan. Sementara saudaraku itu, ia telah memasuki pendidikan tingkat menengah atas. Aku tak begitu mengetahui apa saja yang ia perbuat. Pernah suatu ketika, ia terlibat pertengkaran hebat dengan ayahku dan berakhir dengan ibuku yang menangis. Pada saat itu, aku hanya bisa bersembunyi di dalam kamar dan menghindari teriakan penuh amarah dan hentakan-hentakan yang menyiksa jantungku. Hal itu seringkali terjadi, namun aku sudah terbiasa. Aku tak lagi bersembunyi, tapi aku akan pergi dari sana dan berdiam diri di luar rumah.
“Kau sedang apa?” tanya seseorang suatu ketika.
“Apa?” tanyaku seolah tak mendengar perkataannya.
“Sepertinya kau punya sedikit masalah disini.” Ia melihat sekeliling.
“Aku tak tahu. Mungkin saja. Siapa kau?”
“Aku seorang pelancong, jika kau ingin menyebutnya begitu.”
“Semacam orang-orang aneh yang menghabiskan hampir sepanjang hidupnya di jalanan itu?”
“Ya, seperti itulah. Tapi mereka tidak aneh. Kami sama sekali tidak merasa aneh. Hanya sedikit berbeda.” Sahut orang itu seraya meletakkan tas besarnya direrumputan.
“Cukup menarik. Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya menjadi pelancong?
“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Kecuali kau pernah menjalaninya.
“Kenapa begitu?”
“Kau tak kan merasakan segarnya air jika bukan kau yang meminumnya.”
“Bawalah aku bersamamu.”
Orang itu menatapku lekat-lekat. “Mungkin suatu saat nanti.”
Waktu berlalu dengan sangat cepat, tak terasa tahunan terlewati dan segala sesuatu berganti menjadi hal yang semakin tak kumengerti. Bahkan kenangan tentang peristiwa yang pernah terjadi di masa yang lampau tak membekas dalam ingatan. Hidup menuntutmu menjadi sesuatu. Hanya saja, aku tidak menyukai sesuatu itu. Dan saat ini, aku mendapati diriku terduduk diam dalam heningnya senja dengan pikiran melayang entah kemana, aku juga tak tahu. Aku sudah kehilangannya bertahun-tahun yang lalu.
“Apa yang sedang kau pikirkan? Apakah yang menggelisahkan hatimu?” tanya ibuku.
“Oh, ibu.” Sahutku. “Aku tak mengerti betapa anehnya kehidupan ini.”
“Aku tahu, anakku. Aku tahu kegelisahan hatimu, tapi, sayang sekali ibu hanya bisa melihat dari jauh dan tak bisa melakukan apapun untuk menolongmu.” Dengan lembut ibuku yang tua itu membelai rambutku. Rasanya masih seperti dulu, ketika masa-masa dimana segala sesuatu masih sangat sederhana dan murni.
“Kenapa begitu, Bu?”
“Tengoklah ke dalam dirimu. Temukan sesuatu inti dirimu dan kau akan berbahagia.”
“Bahagia? Aku tak pernah merasakannya lagi hari-hari ini. Aku tak sanggup menatap wajah ayahku, atau mengangkat wajahku ketika aku berjalan di hadapan orang-orang yang mengenalku. Tidakkah kau juga akan bertindak demikian? Aku terjebak di suatu tempat dan kemana aku akan pergi dari sini?”
Hanya terdengar desau pasir tertiup angin sore yang kering.
Perjalanan itu semakin terasa berat. Siang hari matahari membakar kulit hingga ke jiwa. Pada malam hari, seluruh badan bergetar dan membeku hingga ke ujung kaki bersamaan dengan semangat yang membusuk. Tak ada jalan kembali, bahkan pilihan itu terdengar sangat tidak masuk akal. Tak ada tanda-tanda di atas permukaan pasir yang dapat kau jadikan patokan akan keberadaanmu. Hanya gundukan pasir yang menggunung. Pada malam hari, dengan memandang bintang, kau mengetahui arah langkahmu. Ke Utara.
Aku semakin terdesak ke dalam diriku. Dunia dan keramaiannya yang menyesakkan pandangan tak lagi menghibur atau memberi kepuasan. Kemurnian yang dahulu menjadi harta paling berharga kini bagai seonggok sampah di tempat pembuangan akhir. Segala sesuat menjadi lebih buruk. Aku tahu kau juga merasakannya. Jiwamu haus dan lapar. Tapi kau tak akan menemukannya disana. Bagai setitik tahi di angkasa, kau menoleh ke atas dan berseru, apakah arti dari semua ini? Tapi tak ada jawaban.
Aku melanjutkan perjalanan. Aku tak ingat lagi sudah berapa lama aku disini; waktu yang kulewatkan, kesempatan demi kesempatan yang berlalu begitu saja dan isak tangis seseorang yang merindukan kedamaian. Namun hingga saat ini, aku belum juga menemukan apakah kedamaian yang sebenarnya itu.
Ayahku pernah berkata padaku:
“Waktu aku muda dulu, ayahku, yaitu kakekmu, mengatakan bahwa seorang lelaki harus memiliki sesuatu untuk hidupnya. Menurut hematku, pada saat sekarang ini, seorang lelaki harus memiliki pekerjaan dan paling tidak rumah, pendeknya segala sesuatu yang berhubungan dengan kemapanan hingga ia menjadi mandiri. Bagaimana kau akan menghidupi keluargamu kalau kau tak memiliki kedua hal itu? Aku tahu, tidak mudah memang, tapi kau adalah seorang lelaki. Dan kau ditakdirkan untuk bertanggung jawab. Hidupmu bukan milikmu sendiri, tapi milik mereka yang di dekatmu, keluargamu. Kau mengerti?”
Pada saat itu, aku hanya mengangguk-angguk bagai orang mabuk yang tak dapat lagi mengetahui keadaan dan keberadaannya. Tapi beliau orang yang keras, produk didikan zaman penjajahan dimana kemiskinan dan penderitaan menjadi pemandangan sehari-hari. Dengan otot bahu menonjol dan pemikiran modern. Kombinasi yang menarik, tapi menurutku terasa sangat aneh. Bayang-bayang beliau mengikuti kemana saja aku berada.
Orang-orang mengatakan aku terlalu cerdas bagi seorang anak seusiaku. Buku-buku dari berbagai pemikiran yang bertolak belakang dengan budaya luhur turun temurun dan banyak orang menentangnya pada saat itu, kudapatkan dengan mudah melalui seorang pamanku yang seingatku memiliki pemikiran yang terlepas dari budaya dan kebiasaan, dan beliau seorang penganut kebebasan yang luar biasa. Ia bahkan tak peduli dengan kritikan bahkan hujatan orang-orang di sekitarnya.
Aku menulis pada ayahku:
“Setelah sekian lamanya aku memberanikan diri mengatakan padamu hal yang sebenarnya ku cari di dunia ini. Pada awalnya, aku tahu kau akan berpikir betapa bodoh dan sia-sianya apa yang ku perbuat ini. Tapi sejujurnya, dengan hati yang tulus ikhlas dan murni, aku tak dapat lagi hidup dalam keinginan dan cita-cita kalian; tinggal di suatu tempat dalam waktu yang sangat lama, yang disebut rumah. Aku hanya ingin pergi melihat dunia. Dunia yang mereka katakan begitu luas dan indah sehingga akan sangat menyesal apabila melewatkannya.
Aku pernah beberapa kali berjumpa dengan orang-orang yang memiliki pemikiran yang bahkan menurutku benar-benar aneh dan sangat tidak masuk akal. Mereka, orang-orang itu, bahkan tak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal yang tetap. Mereka berbahagia bahkan ketika mereka tak berpihak pada kehidupan modern dimana uang, kekayaan, jabatan, dan ketenaran bagai candu yang merusak dan meracuni pemikiran setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, tak terkecuali kalian, dan kemapanan merupakan pertanda keberhasilan seseorang. Hal itu baik sekali, tapi aku tak dapat menerimanya dan aku tak bisa hidup seperti ini. Maafkan aku jika jalanku sunyi dan sepi. Semoga engkau mengerti betapa aku ingin sekali memberikan apa yang kau inginkan, walau aku tak dapat melakukannya. Aku hanya ingin menikmati kehidupan, tidur berselimutkan bintang-bintang dan beralaskan bumi dan meyakinkan diri bahwa dunia dan isinya ini adalah milik kita. Itu merupakan bentuk kehidupan yang sangat luar biasa yang pernah ku temui. Jikalau ayah dan ibu berkenan, sudilah kiranya menanti aku kembali. Aku akan menulis dimana pun aku berada di tempat yang baru agar kalian tidak mengkhawatirkan aku lagi. Bukankah kehidupan ini sederhana?”
Malam tiba dengan sangat cepat. Deru angin di padang sunyi seakan hendak mematahkan pepohonan kecil itu. Pasir beterbangan dan udara dingin mulai mengigit tulang. Perapian itu menerbangkan sebentuk bara ke udara. Untuk sesaat dan setelah itu, aku membungkus diri ke dalam kantung tidur yang selalu ku bawa serta. Sejenak aku memikirkan segala sesuatu yang pernah ku lakukan dan ku lewati. Ya Tuhan, betapa hidupku tidak berarti. Semoga Engkau mengampuni aku yang telah menyia-nyiakan kehidupan dan segala sesuatu yang diberikan padaku.
Bintang-bintang seakan bergerak kian kemari. Aku pun terlelap. Namun, sayup kudengar suara ibuku. Semakin lama terdengar jelas menghujam ke telingaku.
“Kembalilah nak.” Katanya. “Berapa lama lagi engkau berdiam diri seperti ini? Sadarlah. Dengarkanlah perkataanku. Kembalilah. Apa yang kau cari di sana, tak ada, hanya dunia yang sama sekali tidak nyata. Kembalilah. Kami merindukanmu.”
Aku terjaga. Langit gelap dan bintang-bintang yang tampak bagai titik-titik di angkasa yang jauh di atas sana. Tuhan, apa yang ku lakukan? Kini kusadari bahwa semua itu kini hanya tinggal kenangan, ayah yang dulu mengajariku tentang kesabaran, dan keluasan hati untuk menerima yang lain, kini telah tiada. Aku tak lagi mendengar nasihat-nasihat bijak yang keluar dari mulutnya. Apakah ia masih menemaniku dalam khayalan? Ayah… temani aku dalam kegusaran hatiku. Bagimu ibu, hanya doa dan harapan semoga tahun baru berikutnya kita bisa bersama lagi untuk mengukir kisah dan merangkai kata bagi sang ayah yang telah meningglkan kita…
Tahun baru kali ini berat…