Teropongindonesianews.com
Opini – Tradisi belis sudah menjadi budaya atau kebiasaan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Kekhasan budaya dimiliki oleh masing-masing daerah/wilayah merupakan tradisi yang diwariskan leluhur dan yang akan diturun-temurunkan,serta kebiasaan yang tidak akan musnah sampai kapan pun.
Tradisi ini sebagai salah satu syarat untuk mengikat serta mempererat hubungan keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan. Pemberian dan penerimaan belis (mas kawin) merupakan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu pihak keluarga calon pengantin laki-laki dan pihak keluarga calon pengantin perempuan.
Pada dasarnya dalam konteks budaya untuk seluruh Indonesia, tradisi belis seperti yang ada pada kebudayaan masyarakat NTT, sebenarnya sama dengan kebudayaan yang lainnya.
Karena belis itu merupakan pemberian mas kawin dari pihak keluarga calon pengantin laki-laki kepada pihak keluarga calon pengantin perempuan. Hanya saja pada tradisi masyarakat NTT memiliki kekhasan masing-masing pada wilayahnya.
Entah dilihat dari istilah, bentuk, pakaian yang digunakan, benda-benda, ataupun hewan-hewan yang akan diserahkan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Masyarakat Flores Timur (Lamaholot), misalnya, menggunakan gading gajah, Masyarakat Alor dan Pantar menggunakan moko (KBBI; alat bunyi-bunyian zaman dahulu berupa alat genderang dengan selaput suara dari logam), masyarakat Sumba, Flores dan beberapa masyarakat lainnya menggunakan hewan, seperti kuda, sapi, kerbau atau hewan-hewan yang sudah layaknya dipakai sebagai mas kawin.
Sejauh yang saya pahami serta yang saya amati belis itu merupakan kegiatan memberi dan menerima atau pertukaran timbal balik (resiprositas) yang dilakukan oleh kedua pihak keluarga laki-laki dan perempuan, walau dalam praktiknya bentuk/sarana pemberian tersebut cenderung dilihat hanya pemberian dari pihak keluarga calon pengantin laki-laki.
Pada tradisi belis pihak keluarga laki-laki akan berkunjung atau mendatangkan rumah pihak keluarga perempuan, di sana juga akan dilakukan negosiasi antara pihak keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin perempuan. Dan Tradisi ini sifatnya bukan memperjual belikan manusia, melainkan adat istiadat yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat NTT.
Tradisi belis juga merupakan sebagian salah satu rangkaian dari upacara perkawinan,tradisi belis menjadi langkah awal dalam menentukan posisi untuk membangun rumah tangga yang baru, serta sebagai suatu kejelasan hubungan yang menentukan hak dan kewajiban masing-masing dalam tradisi yang lain atau dalam pengelolaan kehidupan bersama selanjutnya.
Apabila dilihat secara sepintas atau dengan kacamata “orang luar”, tradisi belis merupakan acara pemberian atau penyerahan hewan (biasanya kerbau dan kuda) dari pihak calon pengantin laki-laki kepada pihak calon pengantin perempuan.
Namun, apabila dilihat lebih dalam lagi pihak keluarga calon pengantin perempuan pun juga menyerahkan perlengkapan rumah tangga sebagai hadiah untuk rumah tangga barunya mereka setelah acara penyerahan belis selesai dilakukan.
Tahapan-tahapan Dalam Tradisi Belis
Pertama, perkenalan dari keluarga calon pengantin laki-laki, masuk-minta, dan pergi-ambil. Dalam tradisi ini dilakukan negosiasi antara pihak calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki melalui utusan atau tua adat masing-masing yang punya keahlian dalam hal ini.
Kedua, dilakukannya negosiasi dalam mencapai kesepakatan berapa jumlah dan jenis hewan yang harus diberikan oleh pihak calon pengantin laki-laki dan berapa jumlah dan jenis/motif kain yang harus diberikan oleh pihak calon pengantin perempuan.
Ketiga,Ketika telah terjadi kesepakatan adat, pihak tuan rumah pasti akan memotong babi sebagai tanda kesepakatan yang ‘dimeteraikan’ dengan darah babi dan dagingnya untuk dimakan bersama antara pihak keluarga calon pengantin laki-laki dan perempuan.
Dampak-dampak Dalam Tradisi Belis
Ada beberapa dampak yang dapat diamati pada saat belis telah diberikan.
Pertama, dampak positif, yakni martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat. Melalui pemberian belis martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat atau diangkat karena pihak pria dianggap mampu membayar belis yang ditentukan oleh pihak keluarga perempuan, pihak keluarga perempuan merasa dihargai.
Maksud dari pemberian belis ini adalah sebagai imbalan jasa atau penghormatan atas kecapaian, kesakitan dan jerih payah orang tua selama melahirkan dan memelihara si gadis sampai dewasa, munculnya sebuah kekerabatan baru.
Dengan memberikan belis akan muncul sebuah kekerabatan baru antara keluarga perempuan dan laki-laki. Belis dijadikan sebagai pengikat, calon pengantin melalui pemberian belis, calon pengantin laki-laki dan perempuan sudah mendapat restu dari orang tua dan keluarga sehingga boleh melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan.
Kedua dampak negatif, yakni martabat wanita direndahkan. Dengan pemberian belis kepada keluarga perempuan , pihak laki-laki merasa bisa bertindak bebas kepada perempuan sehingga martabat perempuan direndahkan dan perempuan kurang dihargai dalam hidup berumah tangga, Pihak laki-laki merasa melanjutkan pihak laki-laki tidak mampu membayar belis maka laki-laki akan tinggal di rumah keluarga perempuan dan bekerja untuk keluarga perempuan.
Perempuan merasa statusnya lebih tinggi dari laki-laki itu sehingga laki-laki akan merasa malu, Pertentangan di antara kedua keluarga.
Hal ini terjadi karena belis yang dituntut oleh pihak keluarga perempuan terlalu tinggi sehingga pihak laki-laki tidak mampu membayarnya, menimbulkan utang piutang jika tak mampu membayar belis, maka keluarga laki-laki mengambil jalan pintas dengan meminjam uang pada pihak lain sehingga menimbulkan utang piutang.
Manusia menghadirkan budaya, budaya tidak akan terlepaskan dari manusia.
Tradisi belis bukanlah kegiatan memperjualbelikan manusia, melainkan kebiasaan yang tidak akan punah yang diwariskan oleh leluhur dan akan diturun-temukan. Serta sebagai syarat, bahkan restu dari orang untuk menuju pada rumah tangga yang baru.
Nama penulis: Vonsia Mareni Ampur, Mahasiswa Teknik Sipil Unika Santu Paulus Ruteng.
Pewarta: Susilo Hermanus. Editor: Santoso.