Teropongindonesianews.com
Dionisius Ngeta
Staf YASBIDA Cabang Sikka, Tinggal di Maumere.
“DPR itu mosa oa, daki pai. Mosa ti’i, daki pati. Mosa ata pidi, daki ata ti’i. Kami mosa mudu, daki pu’u, mosa odo, daki du olo-olo. Amin,” (DPR adalah profesi terhormat yang diberi dan dikasi. Kami, masyarakat sesungguhnya adalah yang terhormat dari dulu, dari awal hingga selama-lamanya). Celetup bapakku Mikhael Amekae ketika melewati beberapa tikungan dan persimpangan sambil memperhatikan baliho para caleg dalam sebuah perjalanan belum lama ini.
Pernyataan bapakku ini mengingatkan saya akan pernyataan Rocky Gerung dalam sebuah acara di Televisi. Dengan tegas dan kasar dia mengatakan: “Setiap caleg adalah pengemis suara rakyat. Jika terpilih, dia adalah pesuruh saya di parlemen. Dia adalah anjing saya, untuk menggonggong aspirasi saya dan pemerintah”.
Lalu saya coba bertanya: “Mengapa bapak berkata demikian? “Ya, gambar-gambar yang terpajang di setiap pojok, tikungan, persimpangan sepanjang jalan dan kota bahkan mereka datang sendiri bertemu masyarakat adalah tidak lain untuk meminta suara rakyat agar bisa diberi”, demikian jawaban bapakku yang disampaikan dalam bahasa daerah. “Inikah perspektif dan persepsi masyarakat tentang eksistensi DPR dan demokrasi?!”, tanyaku dalam hati.
Masyarakat dan aktivitasnya melahirkan politik dan demokrasi (mosa pu’u, daki mudu). Wajar, bila politik, demokrasi dan kandidat Kepala Daerah, Presiden dan DPR diperbincangkan masyarakat. Tanpa masyarakat, tidak ada politik dan demokrasi. Juga tidak ada kedaulatan dan yang didaulatkan/dimandatkan. Jabatan, kekuasaan, hak dan wewenang mereka ada DARI, OLEH, dan UNTUK masyrakat. Masyarakat adalah tuan atas demokrasi, pemilik kedaulatan (mosa pu’u). Maka mereka datang, menemui bahkan terbuka meminta atau mengemis dukungan agar mendapatkan mandat dan kepercayaan masyarakat. Foto-foto para caleg yang menghiasi halaman media, kartu-kartu nama yang beredar luas, gambar dan baliho yang terpajang di mana-mana dengan kata-kata mohon dukungan adalah cara “mengemis” dukungan dan membuktikan bahwa masyarakat sesungguhnya pemilik dan pemegang kedaulatan itu (mosa mudu, daki pu’u).
“Mosa Ti’i, Daki Pati”
Eksistensi para legislator (yang akan terpilih), lalu memiliki kekuasaan dan wewenang tertentu (legislasi, buggedting, monitoring/pengawasan) merupakan sebuah eksistensi yang terberi (mosa ti’i, daki pati) dalam perspektif bapak tersebut. Meminta (oa-pai) atau mengemis (Rocky Gerung) dukungan masyarakat dalam berbagai bentuk dan cara merupakan hal yang mutlak agar kedaulatan bisa dimandatkan, lalu memiliki kehormatan karena menduduki posisi/jabatan itu, kemudian mendapatkan kekuasaan, pengaruh dan peran peran-tugas tertentu. Mereka dihormati dan secara konstitusi eksistensinya diakui. Mereka sering disapa: “mosa daki/mosa laki” (yang terhormat). Tetapi “mosa ti’i, daki pati” (kehormatan yang diberi) untuk melaksanakan mandat rakyat. Atau pesuruh dan “anjing” masyarakat di Parlemen untuk menggonggong pemerintah dan kepentingan masyarakat, menurut Rocky Gerung.
Berbeda dengan konsep “mosa laki/daki (mosa: jantan/besar/luhur/makmur), (daki/laki: jantan, beradab, terhormat) dalam pemahaman stratifikasi sosial-budaya yang berlaku di Nagekeo atau di beberapa daerah lain seperti Lio, Ende, dll. “Mosa daki/mosa laki” merupakan kepala sebuah komunitas sosial (suku), tuan di sebuah wilayah/komunitas adat, atau pemimpin di sebuah tanah ulayat (ine tana-ame watu) yang diwariskan/ahli waris nenek moyang secara turun-temurun dan seterusnya (mosa mudu, daki pu’u, mosa odo, daki du’ olo-olo, amin).
Terkait dengan fungsi kepemimpinan, pemahaman mosa daki/mosa laki tingkat pertama di wilayah Nagekeo pada umumnya adalah “Ine tana, ame watu:” (tuan tanah/pemilik hak ulayat). Gelar yang biasa diberikan kepada mereka dalam komunitas Nagekeo adalah mosa tana, daki watu. Otoritas ini diperoleh karena nenek moyang mereka adalah orang-orang pertama yang mendiami dan kemudian menguasai wilayah tertentu sejak dahulu sampai selamanya (mosa mudu, daki pu’u, mosa odo daki du’olo-olo, amin). Mereka tidak hanya memiliki otoritas tetapi juga keluhuran, kebesaran dan keadaban dalam jabatannya (mosa daki).
Terminology “mosa daki” seorang legislator atau jabatan politis lainnya bersifat sementara dan terberi. Bukan kekal dan bukan karena profesi profesional. Bukan juga merupakan ahli waris nenek moyang (mosa pu’u, daki odo) sehingga harus diwariskan, dipertahankan dan diperjuangkan mati-matian dengan segala cara bahkan melabrak etika dan tata aturan. Kekuasaan dan hak-hak yang melekat pada mereka adalah kekuasaan dan hak-hak yang diberi/dimandatkan dan bersifat sementara selama masyarakat percaya (mosa ti’i, daki pati).
Karena itu menunjukkan kerendahan hati dan kebijaksanaan sebagai pelaksana mandat rakyat adalah sebuah imperative/kewajiban moral. Pemilik mandat dan kedaulatan mestinya berhak mendapatkan seorang pelaksana mandat atau pesuruh dalam bahasa Rocky Gerung dengan predikat “mosa nee rende, daki nee ngai” (pribadi terhormat, beradab, memiliki kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan sosial) demi kelanggengan kepercayaan masyarakat. Ia bukan “mosa kasa kapa, daki engge mere” (bukan pribadi otoriter, pemeras dan peralatkan masyarakat). DPR juga bukan “mosa ngai re’e, daki rende raki” (pribadi dengan rekam jejak dan karakteristik moralitas buruk). Kehadiran dan keberadaannya di Parlemen harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa ia adalah “mosa ngai sia, daki rende bhala” (pribadi pemberi jalan pada kebuntuan dan mendatangkan solusi pada persoalan masyarakat). DPR juga adalah “mosa-paka, daki-songga, mosa-nua, daki-oda” (pribadi berpengaruh pada jalan kebenaran dan pekerja keras, terhormat dan menjadi panutan komunitas/masyarakat). Parlemen adalah lembaga terhormat. Kandidat (DPR) adalah orang-orang terhormat, yang sudah selesai dengan dirinya. Ia adalah “mosa ngai ria, daki rende bhala, mosa kema modo, daki ghawo pawe” (pribadi dengan integritas moral, sosial-budaya, spiritual berahklak dan berkelakuan baik). Tidak cukup seorang legislator hanya memiliki kemampuan, keberanian dan ketegasan mengartikulasikan persoalan rakyat agar direspon pemerintah (mosa waka nga’a, daki wiwi jewa). Ia adalah “mosa tonggo monggo, daki tenu ghemu” (DPR adalah penunjuk jalan kebenaran karena integritas moralnya), bukan “mosa sada peda, daki sada rada” (sumber dan pelaku masalah dan kejahatan susila lainnya).
“Mosa Mudu, Daki Odo”
Pernyataan seorang bapakku bahwa mereka adalah “mosa mudu, daki pu’u, mosa odo, daki du’olo-olo, amin” di atas bukan sekadar menggambarkan bahwa masyarakat adalah pribadi terhormat dari dulu kala tetapi sesungguhnya mereka adalah pemilik, pangkal dan pemegang (mosa odo, daki puu) kedaulatan itu. Kepemilikan mandat dan kedaulatan itu berlangsung seterusnya atau selama-lamanya. Tidak memiliki periode, masa/waktu tertentu (du’u olo-olo, amin). DPR hanya sebagai pelaksana/pesuruh mandat rakyat yang bersifat sementara. Waktu pelaksanaannya terbatas selama dipercayai atau dimandatkan masyarakat (mosa ti’i, daki pati).
Filosofi “Mosa mudu, daki pu’u, mosa odo, daki du’u olo-olo” juga merupakan falsafah yang dihayati masyarakat adat tentang tujuan politik dan demokrasi yang sesungguhnya. Bahwa politik dan demokrasi sesungguhnya untuk kesejahteraan rakyat. Kepentingan-kepentingan masyarakat mesti menjadi prioritas (mosa mudu: besar, makmur/sejahtera lebih dahulu). Keadilan dan kesejahteraan mestinya didahulukan untuk masyarakat. Rahim yang melahirkan politik dan demokrasi dan pelaku utamanya adalah rakyat.
Lord Bryce membuat catatan demokrasi dari berbagai negara. Ia menyatakan beberapa keburukan di dalam politik dan demokrasi moderen, di antaranya adalah uang yang merupakan kekuatan yang menyesatkan selain kecenderungan untuk membuat demokrasi sebagai profesi yang menguntungkan. Sering para kandidat (DPR) mengandalkan kekuatan uang untuk memperoleh atau mempertahankan jabatan/profesinya. Politik dan demokrasi tidak lagi sebagai sarana dan alat untuk mencapai tujuan Negara yakni keadilan dan kesejahteraan rakyat, tapi sebagai profesi yang menguntungkan.
Dalam konteks kehidupan bernegara, filosofi politik dan demokrasi di atas sebenarnya menggambarkan bahwa politik dan demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan bernegara yakni mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera (mosa). Politik dan demokrasi harus mampu memungkinkan negaranya berkembang dan rakyatnya lebih dahulu sejahtera (mosa mudu). Pelaksana/pesuruh mandat rakyat (DPR) mesti memperjuangkan, menggonggong laksana anjing untuk memastikan pemerintah sungguh-sungguh bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Politisi harus bisa memungkinkan politik dan demokrasi lebih beradab dan kesejahteraan masyarakat makin meningkat dari masa ke masa.
Pewarta: Yohanis Don Bosco.
Editor: Santoso.