Teropongindonesianews.com
Bagian Pertama. Dionisius Ngeta, S. Fil
(Asal Nangaroro Nagekeo, Staf YASBIDA Maumere)
Berbagai media tentu akan memuat berita tentang pelantikan dan pengambilan sumpah anggota legislator periode 2024-2029. Ucapan terima kasih dan selamat beserta foto-foto mereka pun menghiasi halaman-halaman media, baik cetak maupun elektronik. Tak ketinggalan eforia kemenangan dan rasa syukur bertebaran di media sosial. Status dan foto-foto DPRD atau DPR RI terpilih dan terlantik di Face Book (FB) atau di Whats App (WA) nanti akan berseliweran dan pasti berubah. Berbagai komentar menghiasi dinding halaman status mereka.
Saya teringat status FB salah seorang anggota DPRD Kabupaten Sikka yang terpilih lagi dan dilantik menjadi anggota legislator pada periode 2019-2024. Setelah pelantikan, ia mengunggah gambar dan mengubah status pada halaman FB-nya. Dengan foto seorang mama sedang memeluknya, sang legislator tersebut menulis pada dinding status FB-nya demikian: “Pesan mama ini padaku…jika engkau semakin menaiki tangga sampai di puncaknya, maka engkau akan menatap semua hal lebih luas dan tidak hanya pada perut anda…”. Lalu dilanjutkan dengan ucapan: “Selamat malam buat sahabat yang menaiki tangga”. (E K Y, 25/08/2019, pkl11.19 PM).
Sebagai legislator terlantik dan telah atau akan mengambil sumpah, ekspresi rasa syukur dalam berbagai bentuk dan cara tentu sah-sah saja. Tapi jangan lupa, di atas pundak Anda tertumpuk sejumlah harapan dan seberkas pesan. Basis dan konstituen Anda, atau rakyat pada umumnya tentu memiliki banyak harapan dan pesan, sebagaimana salah satu di antaranya adalah pesan seorang mama di atas.
Ketika dilantik dan mengambil sumpah, sesungguhnya anggota DPR/DPRD sudah sah memegang mandat rakyat untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Ia sudah berada di “tangga” yang diberikan rakyat sebagai pemilik mandat dan kedaulatan itu, terlepas apakah sudah melewati 2, 3 atau 4 “tangga” alias 2, 3 atau 4 periode ataupun baru mulai menginjakan kakinya di tangga pertama sebagai seorang legislator.
Sebagai legislator terpilih dan terlantik, DPR RI/DPRD mendapatkan hak-hak dan tunjangan-tunjangan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan selain tiga tugas penting yang harus diemban (legislasi, budgedting dan pengawasan), termasuk menunaikan janji-janji yang telah disampaikan ke ruang publik saat kampanye. DPR RI/DPRD memiliki hak untuk menatap secara lebih luas dan berbicara secara lebih mendalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakyat seperti yang disumpahkan, lalu mendiskusikannya dengan pihak eksekutif untuk menemukan solusi dan mengawalnya untuk dieksekusi.
DPR/DPRD diharapkan tidak hanya menatap ke dalam dirinya sendiri atau mengutamakan kepentingan perut dan partainya (demikian pesan mama di atas) tetapi kepentingan yang lebih luas, menyangkut rakyat banyak harus ditempatkan di atas segala kepentingan. Tapi apakah harapan dari eksistensi para legislator ketika berada di tangga dan lembaga terhormat sungguh demikian? Apakah harapan itu akan menjadi sebuah kenyataan ketika mereka berada di sana?
Seluruh anggota DPR RI / DPRD terpilih dan terlantik sesungguhnya adalah petugas “hak guna kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, mereka sejatinya terus mengemban tugas kerakyatan dengan senantiasa merakyat. Setiap keputusan yang fundamental untuk kepentingan rakyat mesti berkonsultasi dengan rakyat sebagai pemilik/pemegang “hak milik kedaulatan itu.
Yang menarik bahwa sebelum menginjakan kaki pada tangga rumah dan lembaga terhormat dan sebelum memulai tugas dan karya mereka, para anggota dewan tersebut diadakan pengambilan sumpah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka. Sebuah ritual yang mestinya dimaknai tidak hanya sekedar formalitas belaka atau tata cara formal menjadi seorang dewan terhormat.
Tanggungjawab moral kepada Tuhan sebagai seorang religius yang kepadaNya anggota dewan tersebut bersumpah dan kepada rakyat atas hal-hal yang disumpahkan dan atau yang dijanjikan sebelumnya sedang ditunggu realisasinya. Keadaban sebagai seorang yang beriman dan sebagai seorang wakil rakyat terhormat dan bermoral sedang diuji. Apakah sumpah hanya sekedar diucapkan di bibir saja dan tak akan pernah membuahkan hasil sebagaimana yang diharapankan masyarakat? Apakah janji hanya sekedar disampaikan dan hanya tinggal janji yang tak akan pernah menjadi kenyataan?
Tetapi ketika seorang legislator mampu melaksanakan sumpah dalam tindakan dan merealisasikan janji dengan kenyataan, maka dia adalah seorang beriman dan beradab. “Iman tanpa perbuatan adalah mati, demikian Rasul St. Yakobus. Masyarakat tentu masih memiliki harapan walaupun sering mengalami kenyataan yang berbeda. Mereka masih berkeyakinan bahwa DPR/DPRD memiliki keterikatan, tanggungjawab dan integritas moral serta dapat diandalkan ketika mengucapkan sumpah dan melontarkan janji-janji kepada masyarakat sebelum pelantikan.
Sumpah adalah sakral dan suci
Anggota DPR RI/DPR memulai tugas dan karyanya dengan bersumpah. Sumpah kepada Sang Pengatur dan Penyelengara segala kehidupan termasuk jalan sempit penuh liku anggota DPR tersebut. Anggota DPR tidak bersumpah kepada atau atas nama pimpinan dan rakyat. Tetapi bersumpah kepada Allah dan demi Allah yang adalah suci mereka mengucapkan sumpah itu, dengan mengangkat dua jari dan meletakan tangan di atas Kitab Suci, Sabda Allah yang suci, masing-masing mereka bersumpah.
Itu berarti selain sakral, sumpah itu suci. Karena kepada Allah sumpah itu diugkapkan dan demi Allah sumpah itu diucapkan. Karena itu menghayati dan melaksanakan apa yang disumpahkan merupakan kewajiban moral seseorang sebagai perwujudan pertanggungjawaban imannya kepada Allah, di mana kepada Dia dan demiNya ia bersumpah. “Demi Allah saya bersumpah”, demikian formula permulaan sumpah itu.
Dalam Kitab Hukum Kanonik, sumpah, yakni menyerukan Nama Ilahi sebagai saksi kebenaran, tidak dapat diberikan, kecuali dalam kebenaran, penilaian dan keadilan (Kan, 1199,ayat 1). Yang dengan bebas bersumpah bahwa akan berbuat sesuatu, berdasarkan keutamaan religi, terikat kewajiban khusus untuk melaksanakan apa yang diperkokoh dengan sumpahnya (Kan, 1200, ayat 1).
Untuk itu sumpah yang diucapkan kepada Allah dan demi Allah seseorang bersumpah, sesungguhnya mempertaruhkan kehormatan, kesetiaan, kebenaran dan wewenang Allah. Maka kepatuhan untuk melaksanakan sumpah itu merupakan keniscayaan tanpa syarat. Dan sebaliknya, siapa yang tidak patuh atau lalai mematuhinya, berarti menyalahgunakan nama Allah dan seolah-olah menyatakan Allah seorang pendusta. “Demi Allah saya bersumpah…, itu berarti memanggil Allah menjadi saksi atas hal-hal yang diucapkan.
Allah sebagai Kebenaran Ilahi dilibatkan agar Dia menjamin kejujuran orang yang bersumpah. Karena itu kelalaian, ketidakpatuhan atau pelanggaran terhadap sumpah merupakan suatu kekurangan besar dalam sikap hormat terhadap Allah, yang adalah Tuhan atas setiap kata yang diucapkan. Pertanyaan kita, apakah DPR patuh dan setia melaksanakan sumpah yang diucapkan sebagai pertanggungjawaban iman dan moralnya kepada Allah?
Dengan kesadaran iman dan moral bahwa sumpah adalah pertaruhan kehormatan dan kebenaran Allah selain pertanggungjawaban iman dan keadaban seorang legislator yang bersumpah, maka menggelorakan kepentingan rakyat di atas segala kepentingan adalah keniscayaan sebagai bukti pertanggungjawaban iman kepada Allah sebagimana bunyi formula yang disumpahkan itu. Menghayati dan melaksanakan hal-hal yang disumpahkan sama nilainya dengan menjaga keluhuran martabat dan kesakralan sumpah yakni kehormatan dan kebenaran Allah yang telah dilibatkan untuk menjamin kejujuran orang yang bersumpah.
Pewarta: Yohanis Don Bosco.
Editor: Santoso.