Teropongindonesianews.com
Way Kanan – “Sejujurnya. Aku sudah mati sejak lama ketika mereka mengirimkan foto pernikahanmu padaku. Tapi, aku berusaha baik-baik saja hingga terbiasa,” Khanza menyantap lagi makanannya. Netranya kembali mengembun, menganak hingga berjatuhan tanpa henti. Kulit mulusnya kian bersih tersapu air mata tanpa penghalang.selasa 27/08/24
“Aku sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kamu mengatakan itu,” Lanjutnya. Khanza mulai mengunyah, tatapan matanya setajam b3lati menembus jantungku.
Senyumnya mengembang. Kemudian, dia menunduk lagi. Khanza mulai memperhatikan nasi dalam piringnya. Telur dadar penuh kehitaman di atas nasinya tak ia sentuh sedikitpun.
“Lucu kan, Mas. Luka yang kuterima ternyata dibuat berulang kali oleh orang yang sama. Yaitu … suamiku sendiri,” Khanza tersenyum sumringah. Barisan giginya terlihat rapi sekali, menambah kesan manis yang indah.
“Dan mirisnya, aku dipaksa memaafkanmu karena tak ada satupun sifatmu yang membuatku harus keukeuh pada pendirianku untuk selalu mengutukmu. Dan … ya! Kamu menang, aku memaafkanmu.” Tawanya seketika pecah. Sedangkan aku termenung melihat lepasnya tawanya.
Kudorong segelas air kian dekat padanya. Kubiarkan istriku melepaskan segalanya. Sejenak, ia berhenti tertawa, kemudian melanjutkan makannya tanpa air mata.
Semua air matanya sudah dikuras habis, istriku kini makan sangat lahap. Lalu, aku? Aku berlalu pergi menuju wastafel. Ku tumpahkan amukannya dengan air mataku. Kuhidupkan kran air hingga hanya isakan tangisnya dan kucuran air saja yang terdengar.
Perlahan, aku merosot menyentuh lantai. Kutarik rambutku hingga sekepalan tangan. Khanza tak menggubris sama sekali, bahkan ketika aku bangkit, dan bersujud pada kakinya pun ia tak peduli.
Khanza tetap lahap makan. Seakan aku ini hanyalah orang asing yang tak perlu dikenal. Kuremas kakinya dengan cinta, kucium pahanya meski iya tak mau tahu sama sekali dengan apa yang kulakukan padanya.
Tuhan. Aku akan depresi jika seperti ini.
“Haidar!” Suara bentakan menarik lamunanku. Air mataku kini sudah membasahi seluruh pakaian Khanza–istriku.
“Ibu?” Mulutku menganga. Ibuku sontak menarik tanganku meminta ku bangkit.
“Ngapain kamu sujud-sujud dikaki Khanza? Sudah tidak waras kamu?” Wajah Ibu merah padam, bersama Yuna disisinya.
“Ada apa kalian kemari?” Mataku mengerjap. Memandang Khanza yang kini bangkit dari tempat duduknya. Makanan tadi sudah habis tak bersisa.
“Menjemput Mas Haidar, lah. Kan, istri mudanya berada di rumah sakit tengah kontraksi akan melahirkan.” sahut Yuna santai. Sontak kuraih pergelangan tangan Khanza, tapi ditepis olehnya.
“Oh, ya? Selamat, ya.” Khanza melenggang santai melewati ku juga ibu. Bahkan ibu nyaris terjungkal ketika Khanza enggan memilih jalan lain menuju wastafel.
“Ayo Haidar, istrimu membutuhkanmu!” Ibu menarik tanganku.
Khanza tengah mencuci bekas makannya dengan santai. Ketika aku melepaskan tangan Ibu, kupercepat langkahku untuk menghampirinya yang membelakangi kami.
“Haidar!” Panggil Ibu pelan.
Aku menepuk pundak istriku. Khanza bergeming. Tetap melanjutkan pekerjaannya.
“Sayang.” Bisikku.
“Ayo, Mas. Mbak Nimas sudah kesakitan lho dirumah sakit. Iya kan, Bu?” Yuna menggerutu.
“Haidar, ayo!” Ajak Ibu menarik tanganku lagi. Sekali lagi aku menepisnya. Meminta ibu berhenti menarikku.
“Saya nanti menyusul. Sekarang, saya ingin menemani Khanza dulu. Yuna, ajak Ibu keluar.” Titah ku. Yuna terkejut, sama dengan Ibu.
“Apa-apaan kamu ini, Haidar? Ha! Ayo, istrimu tengah bertaruh nyawa melahirkan anakmu! Khanza belum tahu rasanya, jadi ia tak mungkin mengerti!” Hentakan Ibu berhasil menarik kemarahan Khanza. Terlihat Istriku yang spontan membanting gelas yang tengah ia bilas.
Khanza memutar badannya menghadap kami. Terlihat kilatan amarah pada matanya yang merah.
“Pergilah! Jangan berisik, kepalaku terasa sakit mendengar keributan tanpa ketenangan.” sahut Khanza tenang.
“Mandul … ups!” Mataku.
Penulis: Zainal.
Editor: Santoso.