Teropongindonesianews.com
Oleh : Yuli Gagari
”Hei, Sintia. Coba kamu balik, deh! Teriak Jose yang biasa menjahilinya.
”Ya, ampunnnn. Rambut saya kamu apakan? Kamu ceplokin telur ayam busuk? Dan ahhh,,bajuku ,,,ohhh,, tidaaaaaaakkkkk!” tiba – tiba Sintia berteriak dengan kerasnya hingga membuat suasana pagi menjadi gaduh. Semua siswa yang hadir dan tidak terkecuali guru piket menjadi sangat terkejut. Akan tetapi kejadian itu tidak berlangsung lama karena Jose secepat kilat menarik tangan Sintia agar menghindar ke tempat yang sedikit jauh dari kerumunan orang banyak.
”Bukan, lah! Itu sebenarnya sampo, lho! Jawab Jose santai sembari tertawa. Mendengar jawabannya, Sintia langsung pergi untuk mengganti bajunya serta membersihkan rambutnya. Dia memang tipe siswa yang tidak mau ribut apalagi dia sangat tahu betul sifat Jose yang menyebalkan.
Jose memang terkenal dengan super jahilnya, hampir setiap hari dia hanya dipanggil Pak Frans karena membully, absen, bolos serta terkadang suka tidur dalam kelas. Berbeda dengan Sintia, bawaannya hanya bisa mengeluh dan berlari keruangan guru untuk melapor perilaku teman – teman cowoknya.
”Hey, Jose! Kamu tidak bisa berubah untuk tidak menjahili teman?” tiba – tiba Ayunda muncul dari ruang perpustakaan.
Jose menjadi sangat terkejut karena mendengar suara Ayunda yang sedikit mengeras. Dia tahu kali ini pasti Ayunda, si Gadis hitam manis yang menjadi incaran teman sebayannya sedang dalam keadaan super duper kesal. Dia pun mendekat dan meminta maaf padanya.
”Ayunda, maafkan saya, ya! Saya tidak akan mengulangnya lagi. Tapi by the way, hari ini kamu manis sekali. Beda lho dari hari – hari kemarin.” Ujar Jose dengan suara sedikit melembut.
”Apa kamu bilang? beda dari hari kemarin? Hmmm, matamu segera diperiksa tuh, sepertinya kurang beres!” jawab Ayunda ketus sambil berlalu meninggalkannya.
”Dasar cewek kepala batu…hhhh…hatinya terbuat dari apa sih? Kok, beringasnya kelewatan.” keluhnya dalam hati. Diapun meninggalkan ruang perpustakaan dan menuju ruang kelas.
Tak lama berselang, lonceng sekolah berdering sebagai tanda bahwa semua kegiatan belajar mengajar telah usai. Anak – anak sekolah meninggalkan ruang kelas dengan tertibnya.
Yah, tentunya mereka yang telah mengenakan pakaian putih abu akan lebih mudah diatur dari anak sekolah di tingkat dasar. Tidak terkecuali Jose, Gusty, Berto yang biasa dipanggil tiga serangkai oleh anak – anak jurusan IPS. Ketiganya memang tergolong pandai dalam hal hitung- hitungan apalagi rumus yang biasa dikenalkan Pak Nasir. Berbanding terbalik sama Ayunda, kalau Biologi dia ahlinya, saking banyaknya mendapat nilai 10, sampai temannya di kelas memanggilnya assiten Pak Primus.
”Sintia, ini saya kembalikan buku ceritamu.” Ayunda tiba – tiba memanggil nama Sintia.
”Kamu sudah membacanya sampai habis, Ayunda?” Tanya Sintia seperti tidak percaya kalau teman karibnya itu membaca hanya dalam sehari.
”Sudah. Ceritanya keren sekali. Dan saya sangat suka.” jawab Ayunda santai.
”hmmmm..ngomong – ngomong, ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan. Saya ma..u….” belum selesai ucapannya tiba – tiba Ayunda langsung memotong pembicarannya.
”Ssssssttt, saya sudah tahu. Pasti kamu mau ngajak saya ke pesta, kan?” tanya Ayunda penuh percaya diri.
”hmmmm, kamu sih. Hobinya memotong pembicaraan orang lain.” jawab Sintia lagi.
“Lalu apa yang ingin kamu katakan. Secepatnya yah karena saya mau menemani Mama ke Apotik.” pinta Ayunda.
”To the point ya. Itu si Gusty katanya suka sekali sama kamu. Katanya kamu adalah mutiaranya, cinta pertamanya, hanya kamu yang disukainya. Walau…,” belum habis perkataannya Ayunda langsung berlari kecil dan nampak wajahnya yang hitam manis memerah. Baginya berita ini ibarat petir disiang bolong. Hatinya menjadi cemas, dan terlihat terantuk pada bebatuan kecil di jalanan.
”Ayundaaa…” teriak Sintia. Tapi tak pernah sedikitpun dia menggubris. Sintiapun tidak ingin mengacaukan keadaan, dia sendiri berjalan tanpa ditemani siapapun.
Menjelang malam, keluarga Ayunda terlihat begitu sibuk. Sepertinya ada tamu yang akan datang. Ternyata dalam hitungan menit, ada sebuah mobil berhenti tepat didepan rumahnya. Sepertinya opa dan oma Ayunda. Terlihat keduanya masuk kedalam rumah lalu mereka berbincang hangat.
Malam kian larut, suasana menjadi hening pertanda semua penghuni telah rehat karena seharian raga telah bekerja.
Pagi – pagi sekali, seperti biasa Ayunda kesekolah berpapasan dengan temannya. Mereka terlihat ceria. Memang jarak rumahnya menuju sekolah tidak terlalu jauh sekitar 200 meter saja. Karena langkah kakinya yang cepat, dalam hitungan menit dia telah sampai sebelum temannya yang lain tiba di sekolah. Bayangan akan kejadian kemarin membuatnya semakin tidak berkonsentrasi, pikirannya menjadi galau.
”Selamat pagi, sayang!” tiba – tiba Gusty mengejutkannya.
Ayunda terkejut bukan main mendengar ucapan yang baru keluar dari mulut Gusty. Wajahnya memerah, tersipu malu dan hendak keluar dari ruang kelas. Tetapi belum sempat kakinya beranjak, Gusty menarik tangan kanannya dengan tatapan mata yang berbinar – binar.
”Lepaskan saya, Gusty. Apa kamu sudah gilaa?” teriaknya sambil berusaha melepaskan genggaman tangan erat temannya itu.
”Ayunda, saya mencintaimu!” apakah kamu tidak merasakan apa yang bergejolak di hati saya? Tolong katakan bahwa kamu juga mencintai saya, Ayu!” Gusty terus memaksanya untuk menjawab pertanyaannya.
”Waaaooooowwww,,,,benar – benar pemandangan yang luar biasa!” tiba – tiba Berto mengagetkan keduanya. Keduanya terlihat panik, sementara Gusty masih menggenggam tangan Ayunda.
”hmmm, tanganmu tidak bisa dilepas, ya?” tanya Berto sembari memperhatikan kedua tangan yang masih erat berpegangan.
”Iya. Tadi Ayunda jahilin saya, katanya kalau kita bertemu harus berjabat tangan, eh, tahu – tahunya ada lem ditangannya. Namanya lem cinta.” jawab Gusty sambil terbahak – bahak dan tanpa beban sedikitpun.
”Gusty!!! Kamu sungguh keterlaluan. Memfitnah saya tanpa bukti. Lepaskan atau akan kutendang kamu!” suara Ayunda makin meninggi. Dan ”praaaakkkk, tangan kirinya langsung melayang di pipi Gusty.
Berto yang menyaksikan sangat terkejut tatkala tangan Ayunda menampar Gusty sampai pipinya merah dan berbekas.
Gusty melepaskan tangannya sambil menatap dalam – dalam pujaan hatinya. ”Akan saya tunggu jawaban pastimu suatu saat Ayunda. Pasti saya akan mendapatkanmu!”
Sejak kejadian itu Ayunda makin tidak berkonsentrasi, nilai ulangan bahasa inggrisnya bahkan makin menurun. Pak Frans selalu memarahinya karena nilainya makin merosot. Bayangkan kalau biasa mendapat 95, turun menjadi 50.
”Ayunda, kamu akhir – akhir ini ada masalah apa, ya?” tanya Pak Frans di sela istrahat.
”Maaf, Pak. Saya akhir – akhir ini galau!” jawabnya singkat.
”Kok, galau? Karena apa?” Pak Frans merasa keheranan.
”Itu pak. Si Gusty selalu saja menggoda saya. Saya kan jadinya malu,Pak. ” Ayunda mulai menceritakan semua apa yang dialaminya selama ini.
Pak Frans tersenyum menatap wajahnya yang lugu. Untuk urusan yang satu ini sepertinya pak Frans adalah orang yang tepat, karena selain guru mata pelajaran bahasa inggris juga merangkap guru bimbingan dan konseling.
”Ayunda, itu hal yang normal. Itu tandanya Gusty menyimpan rasa cinta terhadapmu. Dia menunggu respon kamu. Akan tetapi bapak tidak melarang kamu pacaran, silahkan. Tapi harus yang wajar dan sehat,ya. ” demikian pak Frans menjelaskan pada Ayunda.
Ayunda hanya mengangguk. Bermacam – macam rasa bercampur aduk dalam benaknya, lalu diapun pamit untuk selanjutnya ke ruang Aula sekolah.
”Hey, Ayunda. Kamu benaran suka sama Gusty?” mendadak Berto mengagetkannya.
”Berto, apakah kamu tidak bisa untuk tidak membicarakan hal itu?” jawab Ayunda singkat.
”Sebentar lagi kita akan ujian akhir dan tamat SMA, apakah kamu keberatan jika kita buat kelompok belajar?” dia mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Wow, kedengarannya keren. Saya kelompoknya nanti sama kamu saja,ya!” Ucap Berto lagi.
”Ah, nantilah Ketua kelas yang mengaturnya.” Ayunda hanya memberikan jawaban singkat, sepertinya tidak ingin berbicara banyak oleh karena kegalauannnya. Dia lebih memilih untuk menyendiri tanpa ada orang lain yang mengganggunya.
”Ya ampun, kenapa hatiku tiba – tiba berdebar dan sangat ingin bertemu Gusty, ya? Mungkin benar kata Pak Frans, saya sedang jatuh cinta. Saya merasa bersalah sama Gusty, saya harus minta maaf, telah memarahinya berulang kali. Saya harus berani menemuinya.!” tiba – tiba hatinya menjerit dan baru saja beranjak dari tempatnya, Sintia muncul sembari tersenyum.
”Hmmmm, Ayunda kebetulan ini saat tepat untuk melanjutkan cerita. Bersabarlah sahabatku.” kata Sintia.
”Ya, Sintia. Saya tahu pasti tentang Gusty. Katakan padanya saya menerima cintanya, tapi…saya malu Sintia. Kamu jangan bilang ke Papa saya tentang hal ini. Kamu tahu kan, Papa saya itu orangnya keras dan….” belum sempat menyambung kalimatnya, Gustypun langsung duduk disampingnya dan berujar
”Iya, Papamu orangnya galak. Itulah yang saya takutkan. Tapi Ayunda mendengar jawabanmu tadi, saya bahagia.”
”Oh, dari tadi kamu mendengar semua pembicaraan saya dan Sintia. Jahilmu tiada habisnya. Keterlaluan kamu Gusty…..” Ayundapun spontan mencubit tangannya, dan Gusty hanya membiarkannya. Sintia turut bahagia menyaksikan kedua sahabatnya itu yang terlihat semakin dekat. Sepertinya ada tanda – tanda cinta akan terus berlanjut.
Tak terasa semuanya berlalu dengan cepat sekali, mereka akhirnya tamat juga. Terpancar rasa bahagia yang teramat sangat dari raut wajah yang masih polos.
Ayunda serta teman – teman yang menjahilinya, dan Sintia teman curhatnya, akhirnya terpisah juga oleh waktu. Ada yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, ada yang bekerja dan tidak sedikit juga yang tidak melanjutkan sekolah, bahkan ada juga yang telah dilamar oleh kekasih mereka.
Ayundapun harus berpisah dengan temannya, dia kuliah ke salah satu perguruan tinggi terkenal di kota dan mengharuskannya tinggal di kos. Dia kehilangan kabar dari teman – temannya. Apalagi Gusty, bayangan wajahnya selalu diingatnya. Sampai pada suatu saat, dia dipanggil bapak kos untuk menerima telepon. Ayunda terkejut bukan main saat terdengar suara Sintia dan Gusty menyapanya. Ternyata keduanya bekerja di kota metropolitan. Dari balik telepon terdengar Gusty menyampaikan niatnya melamarnya, Ayunda merasa sangat bahagia. Ketiganya berbicara banyak. Ayunda sangat merindukan keduanya. Akan tetapi sepanjang mereka menelepon tak ada satupun yang menitipkan nomor telepon. Usai menelepon sekitar sejam lebih, mereka akhirnya pamit juga. Tak ada kabar lagi. Hingga Ayunda memutuskan untuk menikah dengan Deri, suami pilihannya. Sejak saat itulah dia telah pasrah, mungkin bukan takdirnya lagi bertemu Gusty yang menjadi cinta pertamanya.
Ayunda juga sebenarnya memilih menikah cepat, karena ulah Papanya yang mengambil lagi istri kedua. Ayunda merasa kesepian, tidak diperhatikan lagi, bahkan kedua adiknya menjadi sangat cuek.
Dengan terpaksa menikah karena tidak tahu lagi kemana arah tujuan hidupnya. Dia masih beruntung karena ada Opa dan Oma yang masih berbelas kasihan padanya, mengurus pernikahannya.
Dia meninggalkan tanah kelahirannya karena harus mengikuti suaminya. Awal – awal berumah tangga seperti drama korea, ada kebahagiaan akan tetapi banyak juga air mata berderai. Lama kelamaan tabiat buruk suaminya semakin jelas dan nampak. Tangannya selalu melayang di pipinya, bahkan sering pula barang yang didepan matanya dilempar ke arah Ayunda bertubi – tubi. Penderitaanya semakin bertambah manakala mertuanyapun ikut menjadi provokator. Lengkaplah sudah penderitaan Ayunda. Bahkan sampai memiliki anakpun, kebiasaannya yang ringan tangan semakin menjadi- jadi.
Enam tahun lebih Ayunda bertahan sampai suatu ketika karena saking tidak tahannya dia melaporkan suaminya pada Polisi. Mereka berdamai dan suaminya berjanji untuk tidak mengulangnya kembali.
Setahun berlalu setelah kejadian tersebut, Ayunda mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan di sebuah perusahaan dekat kota suaminya, dia sangat enjoy dan sangat terhibur dengan rekan kerjanya yang begitu banyak. Selain itu juga, dia banyak melibatkan diri dalam kegiatan sosial serta aktif bermedia sosial. Terkadang pula, anak perempuannya semata wayang dilibatkannya dalam kegiatan, sehingga tidaklah heran kalau putrinya itu sangat lincah dalam berkomunikasi dengan orang dewasa.
Hingga suatu saat, dia ditugaskan oleh perusahaan untuk mengikuti kegiatan di kota Bandung. Dia dan beberapa temannya berangkat dan menginap untuk beberapa hari yang lumayan lama. Seperti biasa jemarinya mulai mencari kalau – kalau ada temannya yang memiliki akun IG, FB, atau mungkin telegram.
Akhirnya dia menemukan Sintia dan mencari tahu informasi kontaknya.
Dengan semangatnya dia mengontak Sintia. Merekapun terlibat dalam percakapan yang panjang. Sintia sepertinya banyak menyimpan informasi seputar temannya. Dia memang terbilang sangat cepat kalau ditanya soal keberadaan teman. Nomor telepon Gustypun diberinya pada Ayunda.
Dengan tidak berpikir panjang lagi dia menelepon cinta pertamanya itu dan mendapat respon cepat dari Gusty. Lalu keduanya memutuskan untuk bertemu di tempat yang dijanjikan.
Ayunda tak kuasa menahan tangisnya setelah dua puluh empat tahun tak bertemu, dia merangkul Gusty dengan erat, seperti tidak ingin dipisahkan lagi. Hatinya sangat bahagia, keduanya duduk dan mulai bercerita. Ayunda telah pasrah mengetahui mantan kekasihnya itu telah beristri dan memiliki seorang putri cantik.
”Ayunda, menjumpaimu dalam keadaan sehat seperti ini, saya sangat bahagia. Kehidupan saya sangat kelam. Saya gagal dalam berumah tangga, saya ditinggalkan begitu saja oleh perempuan yang saya cintai. Sudah 4 tahun saya menduda, dan sekarang, Vera, putri sayalah yang menjadi harapan saya terakhir. Hanya dialah hidup dan matiku sekarang. Selama ini saya benar – benar putus asa dengan kehidupan yang begitu kelamnya. Sudah menjadi anak yatim piatu, ditinggalkan Papa dari kecil, sangat menyakitkan Ayunda. Tetapi hari ini, saya merasa bahwa saya bangkit lagi, dan memiliki semangat baru. Cinta saya yang hilang telah kembali, apapun keadaanmu Ayunda, kau tetaplah cinta pertamaku, cinta sejatiku.” ujar Gusty dengan tatapan mata berkaca – kaca, air matanya berderai, dan secara spontan dia memeluk Ayunda dengan penuh kasih. Terlihat keduanya seperti dimabuk cinta.
Ayunda menangis sejadi – jadinya, lalu bercerita kalau hidupnya bersama suaminya tidak pernah di restui mertuanya dan begitu tersiksa. Selalu mendapat kekerasan dalam rumah tangga, dan dia memilih untuk berselingkuh dengan lelaki idaman lain. Hatinya terkoyak, sakit batin yang dideritanya begitu luar biasa.
”Gusty, saya sakit hati dan menjadi dendam dengan suamiku sendiri yang teramat kejam. Dia memukulku dihadapan orang banyak, batinku terluka. Lalu saking dendamnya saya menganggap bahwa semua lelaki sama. Ternyata tidak. Saya melampiaskan dendam saya dengan menyelingkuhi beberapa laki – laki. Itu hal gila yang saya lakukan. Tetapi hari ini, kamu hadir lagi. Saya seperti menemukan harapan baru. Saya tahu, saya perempuan bersuami, saya tidak mempedulikan keadaan ini. Hatiku telah terpaut padamu, Gusty. Kerinduanku puluhan tahun telah terobati saat ini.”
Begitu emosional keduanya yang saling menantikan dan saling merindu. Malam itu tentunya menjadi malam yang berkesan, keduanya menghabiskan waktu dengan bercerita dan sesekali keduanya tertawa bahagia, menangis serta segala rasa yang diluapkan yang sulit untuk dideskripsikan lagi layaknya pasangan yang sedang kasmaran.
”Gusty, kamu tahu tidak kalau anak saya ingin sekali untuk melanjutkan pendidikannya di sini?”
Padahal kami menawarkan beberapa sekolah yang dapat kami jangkau tetapi tak ada satupun yang menyenangkannya. Entahlah apa maksudnya, yang jelas, kamu juga bisa kan memperhatikannya biar dia sekolahnya betah, tidak pacaran dan intinya dia nyaman.” Ayunda menatap wajah Gusty dalam – dalam sambil bersandar di pundak kekarnya.
”Wahh, itu kedengarannya bagus sekali. Saya akan menjaganya layak mutiara. Anakmu sama dengan Vera anakku. Tapi ngomong – ngomong, siapa namanya? Tanya Gusty dengan sangat antusias.
”Veni.” Jawab Ayunda singkat.
”Nama anak kita kok mirip. Pasti dulu saat beri nama, kamu teringat saya, kan?” canda Gusty lagi.
”Hmmmm. Iya. Benar sekali. Mungkin karena sudah ada ikatan batin antara saya dan kamu. Hahahahahahah….” keduanya tertawa lepas, dan begitu bahagia.
Malam semakin larut dan keduanya masih menikmati malam yang indah diterangi rembulan. Sesekali keduanya berpelukan tanpa ada rasa sungkan sedikitpun. Tak terasa waktu berlalu cepat, sepertinya kali ini Ayunda ingin benar – benar pamit darinya. Pertemuan yang singkat tetapi menyimpan sejuta memori membuat malam itu menjadi malam yang paling indah dalam hidupnya. keduanya berjanji untuk tetap menyimpan nomor telepon, dan saling berkabar satu sama lain.
Gusty mengantar cinta sejatinya itu sampai ke Penginapan, dia memperlakukannya bak ratu, dijaganya wanita pujaannya itu dengan kasih dan setelahnya dia pulang kembali ke rumahnya.
**
Suasana pagi ini seperti berbeda dari sebelumnya. Lebih cerah dan burung – burung ramai berkicau. Rombongan Ayunda dan temannya meninggalkan kota Bandung dan kembali kedaerah. Sepanjang perjalannya hatinya tidak tenang dan jemarinya tidak berhenti menanyakan keadaan Gusty. Sampai tiba dirumah pun dia selalu khawatir dan memikirkannya.
”Mama, Hari Jumat depan saya akan berangkat ke Bandung, ya!” saya sudah diterima di Fakultas Hukum. Nanti Papa temani. Tapi ngomong – ngomong nanti Papanya tiga mingguan yah, Ma. Biar saya dapat kos dulu baru Papa pulang.” Veni yang manja tiba – tiba mengagetkannya.
”Iya, sayang. Janji yah sama mama, kamu kuliahnya serius, jangan kecewakan mama dan papa. Hmmm, mama juga sudah menelepon teman mama namanya om Gusty, nanti dia juga bantu temani kamu jika ada kesulitan. Mama sudah memberikan nomor teleponmu.
”Mama kok kasih nomor telepon saya ke orang yang sama sekali tidak saya kenal. Kenapa Ma?” tanya Veni keheranan.
”Om Gusty baik, sayang. Kita masih keluarga juga. Pokoknya nanti minta ditemani kalau ada kesulitan.” jawab Ayunda tanpa basa basi.
Saat hari keberangkatan tiba, Veni ditemani oleh Papanya, sedangkan Ayunda masih sibuk dengan pekerjaannya yang masih menumpuk di Perusahaan. Seperti yang dikehendaki Veni, Papanya menemani selama tiga minggu, sampai dia tinggal disebuah kos dekat kampusnya. setelah mengurus keperluan Veni, kini tiba saatnya Deripun harus merelakan putrinya mandiri karena dia harus kembali ke daerah. Saat itulah seperti janji Gusty pada kekasihnya Ayunda, dia menelepon putri semata wayangnya dan mereka terlihat akrab. Sepertinya tidak butuh waktu yang lama untuk mengenal Gusty dan sebaliknya. Tentu kabar inipun sangat menyenangkan hati Ayunda.
Empat tahun Veni menempuh Fakultas Hukum, dan termasuk sangat berprestasi. Gusty selalu menawarkan pekerjaan yang menarik untuknya dan dapat mandiri. Selain itu, Gusty juga memperkenalkan Vera, putrinya. Keduanya juga terlihat akrab.
Sementara itu keadaan Deri semakin memburuk. Dia mengalami kanker otak. Veni sangat shock mendengar berita yang kurang mengenakkan hatinya. Tidak lama setelah sempat dirawat di sebuah Rumah sakit ternama di daerahnya, diapun menghembuskan nafas terakhirnya. Ayunda dan Veni menjadi sangat sedih. Kabar duka tersebut sampai juga ke telinga Gusty. Dia turut prihatin atas apa yang di alami oleh cinta pertamanya itu.
Dalam lamunan panjangnya Gusty tiada hentinya membayangkan wajah Ayunda, memikirkan tentang penderitaan yang dialami oleh dirinya bertahun – tahun, di lain sisi dia merasa bahwa ini adalah hukuman yang pantas untuk Deri, yang telah membuat cintanya itu terpuruk. Penyesalan juga selalu menghantui diri Gusty mengapa baru bertemu dengannya sedangkan bertahun – tahun Tuhan membiarkan mereka berpetualang mencari kehidupan masing – masing. Kehidupan yang akhirnya berakhir pada kegagalan.
”Papa, saya mendapat kabar bahwa om Deri telah tiada. Kasian ya Veni. Tidak punya papa lagi. ” Vera tiba – tiba mengagetkannya.
”Iya Vera. Papa membayangkan betapa sedihnya tante Ayunda dan Veni sekarang.” jawab Gusty dengan nada melemah.
”Pa, tante Ayunda itu kan cinta pertama papa. Saya setuju kalau papa nanti melamarnya..hihihiihihii…biar cinta yang hilang bersatu kembali….hihihihihihi..Vera meledek papanya habis – habisan.
Mendengar ucapan putrinya, Gustypun langsung menegurnya.
”Vera,,,tante Ayunda lagi berduka cita. Kamu tidak sepantasnya bicara begitu. ”
”Hmmm, maaf Pa. Habis saya juga tidak mau Papa larut dalam kesedihan. ”
”Nantilah Ver. Papa pasti akan memikirkan yang terbaik. Papa tidak mau menambah beban tante Ayunda.”
”Baiklah Pa, maafkan Vera, ya!”
Gusty terlihat sedikit tenang dan sambil mengelus rambut putrinya, lagi – lagi air matanya berderai sembari berujar, ”Ver, hati papa sebenarnya sudah hancur berkeping – keping. Mamamu meninggalkan papa dan kawin lagi dengan pria pilihannya, tiga kali papa gagal dalam berumah tangga, Papa hanya memiliki kamu sekarang. Papa sangat mengharapkan agar kamu jadi anak yang baik, tidak seperti papa yang telah gagal dalam hidup. ”
”Papa tidak gagal. Saya bangga punya Papa. Tak peduli apa kata orang. saya mencintai papa, dan saya yakin suatu saat nanti Papa akan menemukan kebahagiaan sejati. Papa juga harus janji jagain Vera, ya?”
”Itu pasti, sayang. Hmm, baiklah sekarang kamu siapin papa makan, ya. ”
Tanpa basa basi lagi, Vera langsung dengan cekatan menyiapkan makanan kesukaan papanya.
Satu tahun berlalu, kehidupan Ayunda semakin membaik, dia juga mendapatkan jabatan baru sebagai manager di kantor cabang perusahaannya. Sedangkan Veni bekerja sebagai pengacara di Bandung dan Vera, bekerja sebagai Arsitek di perusahaan Teman papanya dengan gaji yang lumayan besar. Di akhir pekan dia biasanya menelepon Veni untuk berjalan – jalan menghabiskan waktu di Mall, atau bahkan mengunjungi tempat pariwisata. Keduanya memang terlihat sangat dekat bak adik dan kakak.
Bagi mereka menghabiskan waktu di akhir pekan adalah obat mujarab untuk menghilangkan segala kepenatan selama sepekan, dengan pekerjaan yang menumpuk terkadang membuat mereka kewalahan. Vera yang bekerja sebgai Arsitek di perusahaan ternama di Bandung tentu butuh konsentrasi banyak dalam pekerjaan. Kali ini juga Vera mengajak Veni untuk menginap dirumahnya. Keduanya terlihat ceria dengan barang bawaan yang begitu banyak, selain jalan – jalan keduanya seperti memiliki hobi memasak yang sama.
Gusty menatap keduanya dengan sangat bahagia. Sepintas dia melihat wajah Veni yang hampir serupa dengan mamanya Ayunda.
”Papa, saya sama Veni akan memasak makanan kesukaan papa, ya?”
”ok deh. Pokoknya papa percaya kalian berdua masaknya pasti enak. Hmm, ngomong – ngomong, gimana kabarnya mamamu, Ven?” tanya Gusty lagi seakan tidak ingin ketinggalan berita tentang cinta sejatinya itu.
”Kabar baik, Om.” jawab Veni santai. Tiba – tiba Vera menimpali ”Tante Ayunda minta papa telpon, karena pingin dengar kabar dari papa.”
Kedua gadis itu saling berpandangan dan tertawa…
Memang tidak dapat dipungkiri kalau kedekatan keduanya sebenarnya adalah hal yang tidak pernah terbayangkan, semua terjadi dari kedekatan kedua orang tua mereka.
Gusty membalas keduanya dengan berujar, ”Kalian berdua kalau udah ngumpul biasanya materinya banyak, ya. Tapi tak apa juga, mungkin ada baiknya Papa menelpon kekasih papa yang jauh disana siapa tahu dia kangen papa benaran.”
Vera dan Veni hanya menggelengkan kepala, pertanda keduanya ingin melihat reaksi Gusty selanjutnya.
Ternyata Gusty meraih handphonenya, lalu menelpon Ayunda, bak gayung bersambut, keduanyapun larut dalam percakapan panjang. Sesekali tertawa, tersenyum, berwajah datar, dan ahhh masih banyak ekspresi lain. Tiga puluh menit berlalu dan handphone dimatikan.
”Vera dan Veni, Papa ingin bicara dengan kalian berdua. Ini tentang tante Ayunda. Papa dan tante memutuskan untuk menikah bulan depan.” Gusty seperti tidak sabaran untuk segera menikahi cinta sejatinya itu.
Memang penantiannya yang begitu lama, boleh dibilang ujian yang sangat berat baginya, dan kali ini dia tidak ingin gagal lagi untuk yang kesekian kalinya.
”Woww,,,secepat itukah papa?” apa langsung menikah?” tanya Vera seperti keheranan.
”Dua minggu lagi kita akan melamar Tante Ayunda, sayang.” jawab Gusty singkat.
Venipun ikut bahagia, karena sebentar lagi mamanya akan mendapatkan lelaki pilihannya, yang selama ini dirindukannya, dia menitikan air matanya mengenang kembali cerita Ayunda, saat Papanya menyiksanya dan ditonton orang sekampung.
”Mama pantas mendapatkan cinta sejati ini, perjuanganmu luar biasa. Semoga selalu bahagia,Ma.” ujarnya dalam hati.
”Veni, kamu kok tidak happy dengar kabar ini?” tiba – tiba Vera menepuk bahunya sembari tersenyum.
”Ohhh, kamu salah, malah saya yang kabarin mama duluan.!” Veni berusaha membela diri.
”Apa? Jadi kamu tahu duluan?” Vera jadi terheran heran.
”Iya dong. Saya sama Papa,,,uuuppss…maaf, salah ucap… heheheh..maksud saya Om Gusty, sudah memberitahu mama tiga bulan yang lalu. ”
”Ahhh,,, Papa kok tega tidak bilang – bilang saya.” Vera jadinya kesal sama papanya. Tapi itu tidak berlangsung lama karena papanya langsung meminta maaf.
Seperti yang telah dijanjikan, Gusty akhirnya menemui Ayunda. Tidak memakan waktu lama untuk mengungkapkan perasaannya yang terpendam selama ini, Ayunda telah lama juga merindukan cinta sejatinya, merindukan kasih dan sayangnya yang begitu besar terhadap dirinya.
Ayunda yang telah didandani bak malaikat, didampingi keluarga tersenyum bahagia. lalu duduk disamping kekasih hatinya. Keduanya saling berpandangan dan terlihat ada kemenangan terpancar di wajah mereka. Keduanya melangsungkan pernikahan, hadir pula kedua putri mereka yang sangat bahagia, Vera dan Veni.
Usai melangsungkan pernikahan, Ayunda dan suaminya Gusty meninggalkan daerah, tempat Ayunda menyimpan kenangan pahit dan manis, segala asa yang menjadi temannya, kini sekarang tergantikan dengan air mata bahagia yang membawanya kedamaian dan sejati.
Kehidupan rumah tangga keduanya sangat harmonis, mereka tampak bahagia dengan kedua anak gadis mereka yang telah bekerja dan memiliki partner kerja yang banyak.
Dua tahun berlalu, Ayunda mengandung dan melahirkan bayi laki – laki yang tampan dan sehat, makin lengkaplah kebahagiaan mereka. Gusty semakin mencintai Ayunda, yang sekarang tidak lagi bekerja dan memilih mengurus putra kecilnya, sedangkan Gusty bekerja dan mendapatkan posisi yang lumayan bagus di kantornya.
S E K I A N