Teropongindonesianews.com
Herlina Mariaty Nau Due
(Pengamat Politik, Tinggal di Padhawoli-Trikora-Bajawa)
Memilih dan dipilih dalam Pemilu merupakan hak dasar setiap warga negara. Namun demikian, sedikitnya kandidat perempuan dalam politik menjadi perhatian serius dalam percaturan politik, baik dalam skala lokal maupun nasional.
Pada kenyataannya, para Caleg perempuan kerap dianggap lemah serta tidak setangguh laki-laki.
Tak jarang pula, penentuan Caleg perempuan oleh partai-partai politik hanya sebagai prasyarat atau hiasan belaka untuk memenuhi kuota dalam tiap-tiap kesempatan Pemilu.
Dilansir dari Puskapol.ui.ac.id, keterwakilan perempuan di DPR pada periode 2009-2014 hanya 18% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan Women Lead (Maret 2019) melansir jumlah Caleg laki-laki sebanyak 5.029 orang, sedangkan Caleg perempuan sebanyak 3.371 orang, atau Caleg perempuan baru mencapai 40% dari total 8.400 orang.
Data ini menunjukkan, di satu sisi minimnya keterwakilan perempuan dan di sisi lain, adanya peningkatan keterwakilan perempuan walaupun tidak signifikan. Demikian, ada hasrat kalau makin banyak keterwakilan perempuan dalam tiap-tiap momen Pemilu akan makin baik bagi perkembangan politik, mengingat jumlah populasi perempuan lebih banyak atau kurang lebih sama dengan jumlah populasi laki-laki.
Politik Patriaki – Politik Dominasi
Minimnya kandidat atau Caleg perempuan dalam tiap-tiap momen Pemilu tidak dapat lepas dari tradisi politik patriaki.
Politik patriaki menelurkan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Laki-laki menjadi penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya, sedangkan perempuan adalah subordinasi dari laki-laki.
Laki-laki perlu didengar dan lebih superior, sedangkan perempuan tak layak bicara, harus diam, dan inferior.
Politik patriaki kurang memberikan kepercayaan dan ruang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik.
Ada diskriminasi dari laki-laki kepada perempuan, yang kemudian terbawa pula ke dalam sistem politik nasional.
UUD 1945, pasal 28 H ayat (2) berbunyi, “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
“Kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan” dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memerhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%.
UU hanya mengatur syarat minimal keterwakilan perempuan dalam Pemilu. Syarat minimal ini yang kemudian diupayakan untuk dipenuhi oleh partai-partai politik dalam tiap-tiap momen penyelenggaran Pemilu.
Adakah syarat minimal ini dapat menjawab rasa keadilan, atau adakah partai-partai politik lebih banyak mengusung Caleg perempuan dari pada Caleg laki-laki untuk memenuhi ide persamaan dan rasa keadilan?
Politik Partisipasi – Politik Kolaborasi
Politik bertalian dengan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan. Politik bukan cara menguasai, tetapi cara memberdayakan. Politik juga bukan relasi kuasa, tetapi kerja sama, dan kemitraan.
Kembali ke data yang dilansir oleh Women Lead (Maret 2019), jumlah pemilih perempuan lebih banyak dari laki-laki, tetapi tidak memberikan kontribusi positif terhadap politikus perempuan dalam pemilihan legislatif, karena tidak mencapai 30% keterwakilan dalam keterpilihan perempuan dalam memenuhi kursi legislatif.
Ini berarti bahwa agar keputusan politik mewakili sauara dan kepentingan perempuan, keterwakilan perempuan menjadi keharusan. Makin banyak yang mewakili perempuan berarti makin baik dan kuat. Makin banyak perempuan yang terwakili di gedung legislatif, maka makin banyak perempuan yang menyuarakan kepentingan perempuan.
Data membuktikan bahwa lebih dari 50% pemilih adalah perempuan. Perlu kiranya mewakili kepentingan perempuan dalam pengambilan kebijakan, terutama menyangkut kepentingan perempuan dan keberpihakan kepada perempuan.
Politik berarti keterarahan kepada kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum melekat dan dekat dengan “urusan dapur”.
Dalam konteks ini teramat perlu pemberdayaan perempuan serta kolaborasi politisi laki-laki dan perempuan dalam menyokong pembangunan yang berkesejahteraan.
Seharusnya jika lebih banyak pemilih perempuan, maka lebih banyak pula pemilih perempuan yang dipilih untuk mewakili perempuan.
Perempuan layak memilih perempuan karena perempuan lebih dekat dengan pendekatan hati dari pada pendekatan kepala (otak-intelektualitas).
Lebih dari itu, banyak perempuan hebat yang berintelek dan juga “punya hati”. Mereka lebih tahu dan paham tentang dapur (kesejahteraan). Dalam konteks ini, mereka lebih layak dipilih dari pada yang lain yang tidak “berkepala” dan tidak punya hati.
Dan pada sisi lain, perempuan pada umumnya tidak haus dan gila kuasa. Naluri dan hati keibuan rela mengesampingkan kuasa demi terpenuhinya kebutuhan “dapur” alias kesejahteraan masyarakat, dari pada kuasa atau kepentingan pribadi.
Sudah saatnya siapa saja yang mencintai perempuan dan teristimewa perempuan sendiri memilih perempuan untuk mewakili siapa saja yang mencintai perempuan dan teristimewa perempuan sendiri guna menjawab kepentingan dan kesejahteraan umum, karena kepentingan perempuan adalah kepentingan “dapur” alias kepentingan umum.
Dapurnya perempuan tidak hanya sebuah tempat yang berbau, kotor, dan penuh asap. Sebagai warga negara, “dapurnya perempuan” adalah “gedung legislatif”, karena di sana perempuan akan merancang dan berbicara banyak hal dengan siapa saja untuk kepentingan dan keperluan “dapur” dari tiap-tiap rumah tangga sebagai warga masyarakat.
Pewarta: Andreas.
Editor: Santoso.