Teropongindonesianews.com
(Refleksi Hari Anak Nasional 2024)
Oleh John Orlando (Alumnus FFA UNWIRA)
Tanah rantau seolah surga, maka banyak orang berbondong-bondong keluar dari kampungnya untuk bekerja. Kenapa mereka meninggalkan kampung? Karena untuk menyambung hidup. Katanya begitu.
Generasi tua bahkan generasi muda pergi meninggalkan tanah lapang di desa tanpa digarap, atau sawah yang terbentang mengering tanpa di jamah. Mereka meninggalkan kampung seolah-olah telah melihat ada masa depan yang cerah di sana, padahal jika dilihat berapa banyak yang pulang merana atau pulang dengan peti mati.
Saya ada sebuah cerita, ceritanya begini:
Ame Ngao, Saya Su Rindu
Ames Su pergi lama la
Datang liat kami e
Jangan lupa JALAN pulang e ame ngao
(13 Juni 2022).
Tulisan itu saya temukan pada secarik kertas kusam tanpa sengaja dipinggir jalan pulang dari sebuah desa sepi. Tanpa Signal handphone, tanpa air bersih yang baik, tanpa jalan yang mulus, tanpa listrik Negara. Mungkin yang ada hanya mimpi dan harapan.
Sebuah tulisan dengan huruf yang belum tertata, mungkin usia penulis belum juga tamat sekolah dasar. Sebuah isi hati yang tertuang dalam tulisan, ya… ini isi hati. Sebuah kalimat menggugah di baris terakhir sekaligus pesan hebat, “Jangan Lupa Jalan Pulang” ya, jangan lupa jalan pulang. Saya menduga, ini buat yang lagi di rantau. Mungkin juga bagi yang telah lama tinggalkan rumah. Bisa jadi teruntuk yang telah tinggalkan keluarga. Entah, dengan alasannya masing-masing.
Kisah-kisah yang bertebaran mengungkapkan jika merantau menjadi kebiasaan untuk keluar dari desa mencari penghidupan yang layak dengan bekerja. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa dengan mencari nafkah diluar daerah meninggalkan keluarga sendirian, anak dan istri di rumah.
Yang menjadi soal adalah ketika sudah pergi, lalu tidak pernah pulang-pulang. Sebulan, dua bulan, enam bulan, satu tahun, dua tahun, bertahun-tahun, tidak pernah pulang. Lalu tidak pernah kasi kabar juga.
Sama seperti lagu ‘Bang Toyib’, sampai 3 kali puasa dan 3 kali lebaran. Anak-anak yang dalam tumbuh kembangnya butuh kasih sayang orang tua, ayah dan ibu, mama dan bapa.
Dengan hanya ibu saja, ada ketimpangan pola asuh dalam pembentukan karakter anak. Atau ketika anak ditinggalkan mama, akan juga menimbulkan ketimpangan pola asuh. Ketika anak hanya diasuh oleh ibu, ini dapat memiliki beberapa dampak yang dinamakan Mother Wound (Luka Batin).
Apa itu Mother Wound? Mother wound adalah luka batin yang disebabkan oleh kurangnya perhatian atau kasih sayang dari ibu selama masa kecil. Ini dapat memengaruhi perkembangan mental anak hingga dewasa.
Tanda-tanda Mother Wound, ketika Anak merasa khawatir atau takut tidak dicintai oleh ibu, anak akan merasa gugup dan takut di sekitar ibu. Dampaknya adalah Rendah diri dan kurang percaya diri serta Kesulitan berinteraksi dengan orang lain.
Ketika anak hanya diasuh oleh ayah, ini juga membawa dampak pada perkembangan mereka yakni Kurangnya Kelekatan Emosional, apa itu? Anak akan merasa marah, malu, iri, dan kesepian karena tidak bisa merasakan pengalaman bersama ayah. Kekurangan kelekatan emosional dapat memengaruhi hubungan anak dengan orang lain dan kemandirian mereka. Juga, ketika tidak dalam pola asuh ayah, menyebabkan anak mungkin menjadi kurang bertanggung jawab dan memiliki self-esteem serta self-control yang rendah.
Ekonomi menjadi alasan, tapi ingatlah bahwa setiap anak unik, dan perkembangannya merupakan dampak dari pola asuh dan lingkungan keluarga dapat menghasilkan anak dengan karakter, mental dan perkembangan yang bervariasi. Penting bagi orang tua untuk memberikan perhatian dan kasih sayang yang seimbang agar anak dapat berkembang secara optimal.
Pewarta: Yohanis Don Bosco.
Editor: Santoso.