Membentuk Pewarta Berkualitas
Teropongindonesianews.com
Pada suatu pagi yang tenang di sebuah ruang redaksi, seorang wartawan senior, Pak Darma, sedang duduk dengan santai di meja kerjanya. Di depannya, sekelompok wartawan muda duduk dengan penuh semangat, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Pak Darma adalah legenda hidup di dunia jurnalistik—pria dengan wawasan luas, kecintaan mendalam pada bahasa, dan ketelitian yang luar biasa. Hari itu, ia memutuskan untuk berbagi pelajaran penting tentang kualitas seorang wartawan–setelah akhir-akhir ini dia melihat betapa makin memprihatinkannya kerja para pewarta muda.
Pak Darma memulai dengan sebuah cerita. “Kalian tahu,” katanya sambil tersenyum, “wartawan yang baik itu bukan sekadar pengumpul fakta. Ia adalah seorang penjelajah dunia, yang selalu penasaran dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia ingin tahu, ingin menemukan kebenaran, lalu membaginya dengan orang lain. Dunia ini terlalu luas untuk diabaikan, dan tugas kita adalah menjadi matanya.”
Ia melanjutkan, “Bukan hanya keingintahuan yang membuat seorang wartawan luar biasa. Cinta pada bahasa adalah kunci lain. Kita harus memahami alur kata, memilih diksi yang tepat, dan menikmati seni bercerita. Kadang, perbedaan antara berita biasa dan berita yang memukau itu terletak pada cara kita menyampaikan fakta.”
Pak Darma menatap mereka dengan serius. “Tapi ingat, jangan sekali-kali meremehkan tata bahasa. Salah ejaan atau kalimat yang berantakan bisa menghancurkan kredibilitas kita. Pelajari kosa kata baru setiap hari. Dan soal menulis, semakin sederhana gaya tulisanmu, semakin kuat pesan yang kau sampaikan. Jangan terjebak dalam kata-kata mewah yang membuat pembaca bingung.”
Seorang wartawan muda, Rahma, mengangkat tangan. “Pak, kenapa menulis sederhana itu sulit?” tanyanya dengan raut penasaran.
“Ah, Rahma,” jawab Pak Darma sambil mengangguk. “Kesederhanaan itu seni. Butuh latihan untuk membuat yang kompleks jadi mudah dipahami. Tapi saat kau menguasainya, kau akan menjadi penulis yang luar biasa. Mulailah dari format berita dasar, lalu kembangkan gaya khasmu sendiri.”
Ia melanjutkan, “Yang tak kalah penting, seorang wartawan harus punya pikiran yang tajam dan terorganisir. Orang mempercayakan fakta pada kita, baik yang mereka berikan maupun yang kita temukan sendiri. Akurasi adalah segalanya. Tanpa itu, kepercayaan hilang, dan tanpa kepercayaan, kita bukan siapa-siapa.”
Pak Darma mengambil sebuah buku catatan kecil dari sakunya. “Ini,” katanya sambil mengangkatnya, “adalah sahabat terbaikmu. Selalu bawa catatan atau alat perekam. Mencatat di saat kejadian adalah kunci untuk membuat laporan yang akurat.”
Ia kemudian berbicara tentang imajinasi. “Kalian harus belajar membangun gambaran mental dari cerita yang kalian dengar. Visualisasikan kisahnya, rasakan emosi narasumber, dan bayangkan bagaimana pembaca akan memahami berita itu. Dengan pengalaman, kalian akan mengembangkan news sense—kemampuan mengenali apa yang menarik dan penting.”
Ia lalu menceritakan kisah seorang wartawan muda yang dikirim meliput pernikahan menteri.
“Ketika ia kembali ke kantor, ia berkata, ‘Tidak ada cerita, Pak. Mempelai wanitanya tidak datang.’
Apa menurut kalian itu bukan berita? Justru itulah inti ceritanya! Wartawan itu belum paham pentingnya memprioritaskan fakta yang relevan.”
Pak Darma tertawa kecil, lalu menambahkan, “Kalian juga harus punya pikiran kritis dan curiga. Tidak semua orang akan jujur padamu. Pelajari cara mendeteksi kebohongan dan kembangkan skeptisisme yang sehat.”
Ia melanjutkan dengan nada tegas, “Seorang wartawan juga harus gigih, seperti anjing yang tidak mau melepaskan tulang. Kadang, kalian harus bertanya hal-hal sulit, meski itu membuat orang lain tidak nyaman. Tapi ingat, selalu bersikap sopan. Ketegasan yang santun akan membuat kalian dihormati.”
Pak Darma memandangi mereka satu per satu. “Dan ini, mungkin yang paling sulit: kalian harus bisa bergaul dengan siapa saja, bahkan dengan orang yang tidak kalian sukai. Jangan pilih-pilih. Wartawan tidak bisa bersikap seperti itu. Kita harus profesional.”
Sebelum mengakhiri, ia memberi pesan penting. “Ketepatan waktu adalah segalanya dalam dunia ini. Jika kau terlambat, bukan hanya editor yang marah, tapi juga pembaca yang kau kecewakan. Dan yang lebih penting, selalu ingat: akurasi adalah harga mati.”
Ia menutup pembicaraannya dengan sebuah senyuman hangat. “Jadi, apa kalian siap menjadi wartawan sejati? Dunia ini menunggu cerita-cerita kalian. Pergilah, temukan kebenaran, dan bagikan pada dunia.”
Para wartawan muda bertepuk tangan. Mereka tahu, pelajaran hari itu bukan hanya teori, tetapi pedoman hidup yang akan mereka bawa sepanjang karier mereka. NN -REDAKSI