
Teropongindonesianews.com
Sejarah itu Lurus
Sejarah tidak belok dan tidak berubah. Sejarah bersifat faktual (fakta) dan konstan (ketetapan Tuhan). Hanyalah ketidakmampuan manusia dan adanya kepentingan pribadi dan kelompok serta pertimbangan sesat tertentu yang mengakibatkan sejarah itu berbelok dan berubah. Jika pun berbelok dan berubah keluar dari fakta, pada waktunya kekuatan semesta akan mengungkapkan fakta sejarah yang sesungguhnya. Sehingga sejarah kembali lurus sesuai fakta dan menempati ruang ketetapan.
Ada suatu waktu seseorang tidak berani mengungkapkan fakta sejarah atas pertimbangan tertentu. Sejarah dibiarkan kabur, berbelok dan berubah. Kita maklumi ketidakberanian itu sebagai ketidakberdayaan menghadapi kekuatan yang menjadi penguasa arah sejarah. Namun, setelah kekuatan penekan itu melemah dan runtuh tiba saatnya sejarah harus diungkap.
Mengembalikan sejarah yang lurus harus dilakukan. Sebab hal itu adalah panggilan nurani untuk menyuarakan kebenaran berdasar fakta. Juga mewariskan nilai agung kebenaran pada anak cucu. Kita harus berani menghadapi, melawan dan melewati semua pertimbangan yang menyebabkan sejarah kabur, berbelok dan berubah. Pertimbangan politik (rezim kekuasaan), sosial (goncangan di tengah masyarakat) serta ekonomi (efek kesejahteraan fakta sejarah) harus dihadapi dengan sprit mengungkapkan kebenaran demi sejarah yang harus lurus dan harus benar.
Ada sebuah data baru tentang sejarah di Kabupaten Sumenep. Saya mendapakan informasi bahwa pada tahun 80-an, ada seorang dosen sejarah yang sekaligus peniliti dari sebuah perguruan tinggi negeri (maaf, nama perguruan tinggi saya rahasiakan, sekaligus nama dosen masih dalam penelusuran). Pernah melakukan penelitian secara mandiri di Sumenep.
Dosen peneliti sejarah itu datang ke Sumenep membawa dokumen peta kuno masa Hindia Belanda. Peta kuno tersebut berisikan petunjuk makam Pangeran Diponegoro di area luar kompleks pemakaman Asta Tinggi (makam raja Sumenep). Berbekal peta kuno tersebut, dosen peneliti sejarah itu datang sendiri ke Sumenep dengan sopir pribadinya. Kemudian ia langsung menuju rumah satu mahasiswanya asal Sumenep.
Tujuan dosen peneliti itu untuk membuktikan kebenaran, keshahihan, dan validitas makam Pangeran Diponegoro yang berada di luar kompleks Asta Tinggi Sumenep. Kemudian, dosen itu dengan berempat; dirinya, sopir, mahasiswa dan satu penduduk Sumenep mendatangi lokasi makam yang diyakini masyarakat sebagai makam Pangeran Diponegoro.
Sampai di lokasi dilakukanlah penelitian berdasarkan peta kuno masa Hindia Belanda yang ia pegang. Peta kuno itu memuat lokasi, luas lokasi makam, termasuk panjang, lebar dan tinggi makam. Dosen peneliti itu bekerja meneliti dibantu oleh mahasiswa dan satu penduduk Sumenep. Atas penelitian yang dilakukan dengan berdasar pada buku peta kuno terungkap fakta bahwa makam itu seratus persen akurat dengan informasi atau data yang ada di peta. Sehingga disimpulkan bahwa berdasar peta kuno yang ia pegang dan setelah diadakan penelitian langsung di lokasi, dipastikan benar seratus persen bahwa itu adalah makam Pangeran Diponegoro.
Di akhir kegiatan penelitian yang ia lakukan dosen itu berpesan kepada tiga orang yang ikut. “Jangan mengungkap kebenaran penelitian ini ke publik. Sebab ini akan membuat kegoncangan terutama rezim orde baru sebagai penguasa tunggal dalam menentukan sejarah”. Ia menyampaikan pesan itu secara kuat, kemudian meninggalkan lokasi pemakaman bersamaan.
Setelah itu, mulai geger di Sumenep tentang adanya makam Pangeran Diponegoro. Ada kabar bahwa pusat kajian sejarah dari pemerintah pusat datang ke Sumenep dengan mengambil batu nisan untuk diteliti. Namun sejauh ini tidak ada laporan resmi terpublikasi terhadap hasil penelitian batu nisan tersebut.
Yang menantang untuk diungkap ke publik dan didiskusikan adalah ketidakberanian dosen peneliti itu untuk mengungkap hasil penelitian dengan alasan agar tidak terjadi kegoncangan dan menghindari tekanan dari pemerintah orde baru. Saya sebagai pegiat riset (peneliti) tertantang untuk mengungkapkan peristiwa ini ke publik. Sebab dalam diri saya dilandasi dan didorong oleh spirit untuk meluruskan sejarah. Ingin mengungkapkan sebuah kebenaran yang nantinya akan diwariskan pada anak cucu.
Ada yang berteori bahwa keyakinan masyarakat terhadap makam Pangeran Diponegoro di Sumenep merupakan akibat dari fenomena penggunaan gelar bangsawan ala Jawa Madura biasa nunggak semi, yaitu penggunaan satu gelar yang bisa dipakai oleh banyak tokoh. Seperti banyak tokoh bergelar Diponegoro, banyak pula bergelar Wiranegara, serta banyak pula bergelar Adikara dan lainnya. Itulah nunggak semi dalam sistem feodalisme Jawa Madura.
Ada juga teori sejarah yang menyatakan bahwa memang nama Diponegoro sudah muncul di berbagai latar sejarah, bahkan jauh sebelum Perang Diponegoro 1825-1830. Misal, pada Perang Tahta Jawa II, terdapat tokoh sentral bernama Pangeran Arya Diponegoro. Ada pula teori yang diungkapkan dengan mengutip pendapat Tb. M. Nurfadhil bahwa makam yang diyakini sebagai Pangeran Diponegoro di Sumenep adalah KPH (Kanjeng Pangeran Harya) Dipanegara, yaitu putera Pangeran Diponegoro alias Sultan Abdul Hamid Herucokro seorang tokoh Perang Diponegoro 1825-1830 yang merupakan anak lelaki dari Sultan Hamengku Buwono III. Namun, setelah diajukan sebuah pertanyaan bagaimana kisahnya Kanjeng Pangeran Harya anak Pangeran Diponegoro bisa berada di Sumenep hingga wafat dan di kubur di Sumenep? Belum ada jawaban yang bisa menjelaskan.
Dari beberapa sumber sejarah yang beredar di Sumenep, disebutkan bahwa sekitar tahun 1820-an ketegangan hubungan Diponegoro dengan Belanda semakin memanas dan mencapai puncak konflik. Perang Pangeran Diponegoro dengan Belanda yang dikenal dengan Perang Jawa merupakan perang berat dan lama, serta menghabiskan banyak biaya terhadap Belanda. Salah satu kekuatan Pangeran Diponegoro adalah dia didukung oleh Suroadimenggolo V seorang Adipati Semarang.
Belanda sangat kesulitan menghadapi pertempuran melawan Pangeran Diponegoro dengan pasukan setianya. Akhirnya, Belanda menyeret raja Sumenep untuk terlibat dengan meminta bantuan. Agar mendapat simpati dari raja Sumenep, Belanda menyampaikan informasi berbau adu domba dengan memfitnah Pangeran Diponegoro. Disampaikan pada raja Sumenep bahwa Pangeran Diponegoro bersikap ambisius untuk merebut takhta raja dari putra mahkota yang berhak, dimana masih ponaannya sendiri yang berstatus yatim. Ditambahi pula bahwa Pangeran Diponegoro didukung penuh oleh Suroadimenggolo V, seorang Adipati Semarang yang selalu bersikap menolak tunduk pada Belanda. Suroadimenggolo V adalah mertua dari raja Sumenep.
Info berisi adu domba tersebut menyebabkan raja Sumenep Sultan Abdurrahman terhasut. Sehingga Sumenep pun ikut bergabung dalam Perang Jawa melawan Pangeran Diponegoro sekaligus Suroadimenggolo V. Setelah sempat ikut dalam perang Jawa, Sultan lantas menemui langsung Pangeran Diponegoro secara empat mata di sebuah goa pertapaannya. di pertapaannya. Sultan Abdurrahman menanyakan langsung pada Pangeran Diponegoro alasan dia berontak dan berperang melawan Belanda. Akhirnya, siasat adu domba Belanda terkuak. Di hadapan Sultan Abdurrahman Pangeran Diponegoro mengatakan alasan dirinya berontak dan menyatakan perang terhadap Belanda tak lain untuk membela rakyat atas kesewenang-wenangan, kelaliman, dan perilaku kejam Belanda.
Setelah mendapatkan penuturan langsung dari Pangeran Diponegoro, akhirnya Sultan Abdurrahman sadar jika dirinya telah difitnah oleh Belanda terkait sosok Pangeran Diponegoro. Setelah pertemuan tersebutlah, Pangeran Diponegoro menyatakan menyerah pada Sultan Abdurrahman. Selanjutnya, diberikan suaka politik dibawanya ke Sumenep.
Suaka politik dan perlindungan jaminan keselamatan, pembuangan dan pangasingan terhadap pembesar wilayah Jawa sangat jamak terjadi pada wilayah Sumenep. Sebagai sebuah wilayah kekuasaan yang lokasinya tidak dekat dan tidak terlalu jauh dari pusat kekuasaan, Sumenep seringkali menjadi daerah pengasingan dan pembangunan. Arya Wiraraja seorang penasehat kerajaan Kediri harus disingkirkan dengan cara halus dengan diangkat menjadi raja Sumenep sebab berpotensi merebut tahta raja. Suroadimenggolo V seorang Adipati Semarang yang selalu memberontak dan tidak mau tunduk pada Belanda, dihukum dengan cara dibuang dan diasingkan ke Sumenep. Sumenep dikenal sebagai daerah pengasingan dan pembuangan terhadap orang-orang yang sering melawan penguasa khususnya di tanah Jawa.
Selama ini kita berada dalam dilema kemapanan fakta sejarah bahwa makam Pangeran Diponegoro berada di Sulawesi. Jika fenomena makam di Sumenep ini dikaji secara serius dan kemudian benar, maka akan terjadi goncangan politik, sosial dan ekonomi. Akan terjadi goncangan di tengah masyarakat terhadap aktivitas spritual yang telah ia yakini dan ia telah lakukan. Selain itu, akan berpengaruh terhadap kemapanan perekenomian sebuah kawasan. Namun, kita harus berani melewati hal semacam ini demi sejarah yang harus lurus dan harus benar.
Fenomena kesejarahan ini harus diungkap secara serius untuk mengembalikan sejarah yang lurus, faktual dan konstan. Diperlukan keberanian dan tekad untuk bisa melewati pertimbangan politik, sosial dan ekonomi. Sebab terkadang tiga hal inilah yang bisa menjadi penyebab sejarah menjadi kabur, berbelok dan berubah. Fenomena ini harus dikaji dan diteliti secara serius. Selanjutnya, biarlah hasil penelitian ilmiah melalui kajian data dan fakta menentukan serta menyampaikan benar dan salah.
Hal terberat yang mungkin akan menimpa saya setelah mengungkapkan hal ini ke publik yaitu dicemooh, di-bully, hingga dicaci-maki. Namun saya siap menerima semua itu sebagai sebuah konsekuensi. Tertancap kuat niat dalam diri untuk meluruskan sejarah. Sebagai pegiat riset (peneliti) saya akan menerima sebuah kebenaran dengan rasa tanggungjawab. Juga, akan bersikap dewasa dan akan mengakui terhadap sebuah kesalahan.
Mari kita berdiskusi dengan sajian data dan fakta sejarah.
Penulis : Syafiuddin Syarif. Pegiat riset, guru SMAN 1 Sumenep.