Dionisius Ngeta
Warga RT 018 RW 005 Kel. Wuring Alok Barat
Teropongindonesianews.com
Hari-hari ini Jokowi dan keluarga dibombardir laksana Israel atas Hamas-Palestina. Asumsi, persepsi, dugaan dan kecurigaan netizen, pengamat dan akademisi tanpa ampun mendiskredit Jokowi. Pilihan Koalisi Indonesia Maju (KIM) atas Gibran Rakabuming Raka menui kontroversi, curiga dan penuh praduga. Seakan Gibran pilihan KIM adalah kehendak penguasa atau atas perintah Jokowi. Presiden Jokowi pun dengan tegas dan lugas ketika dikonfirmasi: “Tanyakan, tanyakan ke partai politik. Itu wilayahnya partai politik atau koalisi partai politik atau gabungan partai politik, bukan urusan presiden”, dikutip dari Youtube Sekretariat Presiden.
Polemik pasangan KIM ini pun meledak terjadi di ruang publik. Terlalu tua dan terlalu muda, bau tana dan anak karbitan adalah beberapa di antaranya. Atau punya beban masa lalu dan “anak ingusan”, seperti yang dikatakan oleh salah satu senior PDI-P, Pandan Nababan. Bahkan buka-bukaan atau buka-tutup “aib” di antara kader partai terhadap Jokowi mulai terjadi. Terakhir, Adian Napitapulu meledakan penyataan ke ruang publik dalam sebuah acara di TV bahwa Jokowi meminta tiga periode kepada ibu Megawati. Puan Maharani puteri mahkota Megawi pun membatah pernyataan itu. Bahlil Lahadahlia salah satu pendukung KIM pun mengklarifikasi. Bahwa dialah yang pertama mewacanakannya bukan siapa-siapa.
Putusan MK menjadi sempurnalah sudah semua praduga dan curiga. MK bahkan diplintirkan jadi Mahkamah Keluarga yang memuluskan karpet merah dan sekan jalan pintas bagi Gibran. Pilihan KIM atas Gimbran dikait-kaikan dengan hubungan perkawinan Saudari Jokowi dan Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman. Keputusan MK dan pemilihan Gibran ditengarai penuh dengan entrik politik untuk sebuah dinasti politik. Bisa benar yang dikatakan Cal Thomas: “Salah satu alasan orang membenci politik adalah bukan kebenaran menjadi tujuan politisi, tapi pemilihan dan kekuasaan.”
Publik menduga, demi ponaan Ketua MK, Anwar Usman mengutak-atik aturan negara dan ambil peran yang bukan wewenangnya. Isu politik dinasti pun dipolitisasi dan berhasil diledakan. Sentimen negative terhadap Jokowi di ruang publik pun terjadi. Presiden Jokowi didiskredit sebagai penguasa yang tetap haus akan kekuasaan ketika KIM memilih dan menempatkan Gibran Rakabuming Raka, putera mahkotanya.
Pawang dan nama baik Jokowi dan keluarga terjungkal dan terjun bebas. Tidak sedikit yang tidak lagi menaruh hormat padanya sebagai symbol negara. Jokowi yang jungkir balik bekerja hampir 10 tahun dengan filosofi membangun dari desa, daerah terluar dan terdepan terjungkal ditelan curiga dan praduga. Dia yang pasang badan merebut kembali Freeport dari penjarahan dan penjajahan Amerika selama puluhan tahun seakan tak berdaya di hadapan amarah dan anti pati masyarakat gara-gara putusan MK dan Gibran disepakati dan dipilih oleh KIM.
Orang yang berkata kalem: “Mau gugat saya di WTO, gugatlah!” gara-gara program hilirisasi, dilabelisasi sebagai “kacang lupa kulit” alias pengkhianat kepada partai yang berdarah-darah membesarkannya. Dia yang ambil alih pengelolaan Blok Rokan dan Blok Mahakam dan membereskan mafia migas dengan bubarkan Petral, dicap sedang melanggengkan kekuasaan dan melenggangkan putera mahkotanya. Pilihan KIM atas Gibran Rakabuming Raka seakan menegaskan apa yang dikatakan Franklin D. Roosevelt bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan dalam politik, bahwa hal itu direncanakan.
Presiden yang paling sering blusukan ke berbagai daerah dengan antusiasme warga tak tertertandingkan dicap menghalalkan segala cara dan melabrak etika. Program unggulan Hilirisasi sebagai symbol kedaulatan energi dan IKN sebagai symbol pemerataan kesejahteraan dan keadilan seakan tak berdaya dan hilang-lenyap di hadapan narasi pengkhianatan dan haus kekuasaan. Pasangan Prawabowo-Gibran pilihan KIM menui kontroversi. Bahkan mungkin kontra produktif yang memerlukan klarifikasi dan stretegi komunikasi publik tim koalisi.
Sebagai anak kampung yang tinggal di pojok kota kecil, saya memaknai semua kegaduhan politik ini adalah hal biasa yang sering dipertontonkan para politisi apalagi di tahun politik. Politik adalah realitas kehidupan penuh kegaduhan tawa dan sandiwara karena kepentingan. Begitu juga migrasi para politisi adalah suasana biasa yang sering dipertontonkan karena peluang dan kepentingan. Politik tanpa kegaduhan laksana pesta tanpa dansa dan tari-tarian. Pindah sana, lompat sini ala kutu loncat tanpa kepentingan tak mungkin terjadi.
Tapi dansa-dansa politik itu kadang kala tidak asyik dipertontonkan jika jauh dari etika, melabrak moral dan norma peradaban. “Demokrasi bukan hanya hak untuk memilih; itu adalah hak untuk hidup bermartabat”, demikian Naomi Klein.
Sebenarnya kegaduhan dan kegundah-gulana khalayak banyak nusantara bermula dari keputasan kontroversi dan kontra produktif Mahkamah Konstitusi (MK). Benteng akhir penegakan konstitusi itu pun diplintir menjadi Mahkamah Keluarga. Karena Anwar Usman, ketua MK dan Gibran Rakabuming Raka pilihan KIM masih dalam lingkaran family.
Karena itu, kewaspadaan akan adanya abuse of power/penyalahgunaan kekuasaan dari masyarakat pun muncul dengan sendirinya. Sebagai warga Negara, pemilik kedaulatan, kewaspadaan itu adalah keniscayaan. Ketidakadilan atau kejahatan itu selalu ada di sekitar kita bahkan pada dia yang dipandang baik adanya dan sangat dicinta. Clint Easwood mengingatkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan itu tidak terbatas pada orang jahat pada negara lain. Itu terjadi di negara kita sendiri jika kita tidak waspada.
Masyarakat, kita semua adalah patriot sejati, termotivasi oleh rasa tanggungjawab dan memiliki kepentingan akan masa depan negara untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan. Mata hati dan pikiran kritis dalam nuansa kewaspadaan itu tidak boleh dibutakan oleh rasa cinta yang besar dan mendalam kepada pemimpin kendatipun dia telah berjasa banyak untuk kepentingan rakyatnya. Karena itu waspada dan berjaga-jagalah adalah keniscayaan untuk terus dinyalakan kapan dan di mana saja terutama di tahun politik dan di saat pemilihan. Benjamin Carson telah mengingatkan kita: “Waspadailah terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Baik oleh mereka yang kita tidak setujui maupun mereka yang mungkin kita sepakati”.
Gibran Rakabuming Raka pilihan KIM ibarat magnet berkutub plus-minus penuh kontroversi. Sebagai putera Jokowi, Gibran adalah magnet yang mengikat koalisi dan jalan tengah bagi anggota. Kendati mungkin dibilang masih muda di bidang pemerintah bagi maysarakat yang memiliki referensi berbeda, Gibran Rakabuming Raka dipandang sebagai jembatan yang menyatupadukan berbagai kepentingan partai dengan jagoan cawapresnya masing-masing. Gibran adalah magnet-plus di tengah tingginya approval rating Jokowi. Ia dinilai dapat mengikat massa dan relawan ayahnya sehingga diprediksi mendongkrak elektabilitas jika Prabowo disandingkan dengannya.
Kendati demikian, Gibran juga adalah magnet-minus bagi Koalisi Indonesia Maju. Selain dipertanyakan kaderisasi partai-partai koalisi, nama baik dan kredibilitas Jokowi bisa ada di titik nadir. Sentiment negative terhadap Jokowi pun bisa terjadi. Kemungkinan hijrahnya para pemilih setia Jokowi pun bisa diprediksi. Pemilih partai-partai koalisi terutama pemilih Prabowo sebelumnya bisa migrasi terutama mereka yang tidak suka dengan Jokowi. Ketika Gibran putera mahkota didisandingkan dan Jokowi dipresepsi mendukung KIM, luka lama akan terbuka lagi. Pilihan mereka bisa hijrah ke pasangan lain atau golput.
Apapun persepsi, praduga dan curiga, terhadap keputusan MK dan pecalonan Gibran semua sudah terjadi, final and binding, selesai dan mengikat. Sebagai masyarakat demokratis siapapun usungan partai atau koalisi partai politik dan apapun keputusan mereka, pada akhirnya rakyatlah yang memastikan kemenangan mereka. Rakyatlah sesungguhnya yang memenangkan kontestasi. Rakyatlah yang memastikan bahwa kedaulatan dan suaranya adalah harga yang mahal bahkan diidentifikasi sebagai suara Tuhan, vox populi, vox Dei. Suara dan kedaultannya adalah mulia, tidak ditakar dengan berapapun besarnya sejumlah uang. Kebebasan dan kemerdekaan dalam memilah dan memilih kandidat Capres/Cawapres didasarkan pada rekam jejak, kapasitas, integritas moral. Dan hal itu adalah sebuah keniscayaan yang harus tetap dikedepankan. Kewaspadaan dengan tetap melakukan pengawasan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan niscaya terus dilakukan.
Pemilu juga tidak hanya kisah tentang peluang bagi masyarakat untuk menentukan siapa presidennya kelak. Dan PilkaPemilu juga tidak hanya kisah tentang prasyarat formal untuk memenuhi hasrat berkuasa dan prosedural pemilihan. Bukan pula sekedar momentum muncul, lalu terpilihnya dua dari sekian kontestan, kemudian usailah sebuah pesta demokrasi. Jelas, bukan itu semua.
Yang ingin kita ingatkan jauh sebelum dihelat secara serentak adalah Pemilu Langsung yang menorehkan sejarah karena berbudaya, beradab dan memiliki marwah. Pemilu harus bisa mengisahkan dan dikisahkan sebagai momentum pertaruhan marwah dan keadaban para pemilih dan kandidat yang akan dipilih sehingga harapan kualitas dan kedewasaan Politik dan Demokrasi menjadi nyata.
Mungkin semua kita maklum Pemilu langsung adalah rohnya kedaulatan rakyat, bukan kekuatan daulat tuanku pak lurah. Tetapi kita tak boleh lupa bahwa hak rakyat memilih pemimpin sering dikebiri dan dimutilasi dalam proses kandidasi dengan cara mendewakan uang dan kong kali kong lainnya yang merendahkan marwah dan keadabannya sebagai manusia. Pemilu yang berkualitas dan berkeadaban, jauh dari abuse of power / penyalahgunaan kekuasaan adalah dambaan kita semua.