Teropongindonesianews.com
Situbondo – 17/8/2022, Sepesial di hari kemerdekaan RI ke 77, Biro Teropong Indonesia (TIN) Situbondo menghadirkan Rubrik artikel sejarah yang layak kita simak bersama, dengan Narasumber, AGUS KARYANANTIO , Pemerhati Sejarah Situbondo.
Dalam pembagian waktu geologi dikenal adanya Kala Holosen yg dimulai dari 12.000 tahun yg lalu sampai sekarang. Di dalam Kala Holosen masih dibagi tiga waktu menjadi seri Greenlandian ( 12.000 – 8.300 tahun yang lalu ), seri Northgrippian ( 8.300 – 4.200 tahun yg lalu ) dan yg terahir Seri Meghalayan ( 4.200 tahun yg lalu sampai sekarang ).
Pada 2.200 SM / 4.200 tahun yg lalu secara kosmopolitan terjadi perubahan iklim yang cukup signifikan, di banyak tempat suhu permukaan bumi memanas, mulai adanya *badai subtropis* di era Nabi Yusuf dan *badai tropis* yang salah satunya kita kenal sampai sekarang dengan badai tropis *La Nina* ( musim basah ) dan *El Nino* ( musim kering ). Fenomena perubahan iklim di seri Meghalayan banyak mengubah peradaban manusia anak cucu Adam, terjadi migrasi manusia ke tempat yang lebih baik, di awal seri Meghalayan banyak menghasilkan gurun pasir baru seperti di Sahara, Saudi Arabia, India dll, fase awal yg panas ini terjadi selama 200 tahun.
Pada tahun 2.000 SM suhu mulai menghangat, banyak terbentuk Savana / Padang rumput, Hutan Mangrove mulai berkembang di daerah Tropis, beberapa Coral dan Algae meningkat populasinya, hewan2 pemakan rumput juga berkembang biak dengan baik di sekitar Savana.
Di Taman nasional Baluran ada satu-satunya Savana / padang rumput di Indonesia yang berada di dataran rendah, hal ini tak lepas efek Meghalayan tahun 2.000 SM yg sikon permukaan bumi mulai hangat dan kondusif untuk kehidupan, pembentukan gurun pasir sudah berhenti. Jadi sebelum tahun 2.200 SM sebetulnya Seluruh Taman Nasional Baluran adalah hutan yang dihuni aneka satwa khas Tropis, setelah tahun 2.000 SM terjadilah Savana Bekol dengan rumput subur setinggi 50 – 100 cm yg sangat bagus untuk pakan Banteng.
Akibat lanjutannya populasi Banteng meningkat alamiah di sekitar Savana Bekol, sementara di sebelah Barat dayanya ada penutur Austronesia yang banyak bermukim di Bondowoso untuk bercocok tanam padi. Penutur Austronesia yg bermigrasi sebelumnya dari Sulawesi dan Kalimantan Utara . Menurut Prof Oppenheimer dalam bukunya *Eden in the East* migrasi Austronesia dari Kalimantan Utara disebabkan adanya es mencair di kutub Utara dan Canada sehingga menyebabkan persawahan di Natuna, Kalimantan Utara tenggelam oleh kenaikan muka air laut.
Sekitar 4.000 SM Austronesia sudah mulai berlayar ke Sulawesi dan meninggalkan peradaban batu besar / megalit di Sulawesi Tengah, TN. Lore Lindu, Poso. Akibat bercocok tanam padi di dataran rendah beresiko terkena banjir besar laut, trauma itu diatasi dengan mencari surga baru tanah pertanian dan mereka dapatkan di Lembah Bada, Poso, Sulteng.
Pada tahun 3000 SM ditemukan fosil beras hitam di Sulsel dan budidaya padi ini menjadi penciri Austronesia dan hypotesis saya pada tahun 2.500 SM Austronesia sudah mendarat di pelabuhan Agel, Arjasa, sebuah teluk yg cukup dalam dan gelombang dan angin tidak terlalu besar ( Komunikasi pribadi dengan Irwan Kurniadi ).
Dari Arjasa gelombang pertama Austronesia bergerak menjelajah ke seluruh kabupaten Situbondo dan Bondowoso adalah surga budidaya padi yang mereka impikan, karena tanah yang subur hasil pelapukan batuan vulkanik dan curah hujan sedang – tinggi.
Yg menarik dari Situs Melik, kec. Banyuputih yg dijumpai struktur bata yg menandakan pemukiman maju, nama Melik sendiri berarti beras hitam dalam bahasa Kawi, jadi diduga kuat fosil beras hitam yg ada di Sulsel dibawa Austronesia dan ditanam di Kawasan Banyuputih dan akhirnya diberi nama Melik, sedangkan yg beras putih butuh air banyak ditanam di Bondowoso.
Tentu saat itu Austronesia juga melihat hutan lebat TN. Baluran dan ketika era Meghalayan pada thn 2.200 – 2.000 SM , setelah Savana meluas maka populasi Banteng meningkat … mereka butuh Banteng untuk jadi penarik bajak di sawah Bondowoso. Data yg cukup Valid ada di gua Butho, Cermee, Bondowoso, di dalam lukisan gua selain kijang dan harimau, ada juga gambar banteng yg habitatnya di Savana Bekol, TN Baluran.
Sebagaimana orang Sulsel menggambarkan Anoa hewan buruan mereka di gua Leang – Leang, kab. Maros dengan umur 40.000 SM, maka wajar saja jika hypotesis baru saya ajukan bahwa lukisan banteng di Gua Butho sudah ada sekitar tahun 2.200 – 2.000 SM. Orang Austronesia mampu menjerat Banteng hanya dengan tali-tali tanpa menggunakan senjata tajam, karena banteng yg hidup akan dijinakkan / domestikasi menjadi sapi merah Jawa dan juga Madura.
Pada situs Patemon, Bondowoso, selain didapatkan megalit didapatkan juga terak besi / tahi besi secara insitu yg notabene adalah limbah proses peleburan logam besi ( foto ada di Arkeolog Bondowos, pak Hery Kusdaryanto ). Jadi ditafsir situs Petemon berumur 2000 SM, orang Bondowoso sudah mampu membuat tungku peleburan logam terutama utk membuat ujung Bajak utk menyingkap tanah.
Penjinakan Banteng utk jadi sapi ternakan mirip dengan Coboy menangkap kuda di USA dengan tali Lasso, dan anehnya kemampuan menangkap banteng liar / kerbau liar hanya dengan tali, masih dimiliki masyarakat Banyuputih sampai sekarang. Sebuah talenta khusus yg diturunkan dari generasi ke generasi dan berusia 4000 tahun.
Bersambung…
(AgusBiroTIN Situbondo)