Teropongindonesianews.com
JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menekankan tahun 2024 adalah penanda penting dalam demokrasi di Indonesia. Pada 2 Juli 2023 lalu, KPU RI telah mengumumkan daftar pemilih tetap (DPT) nasional yang ternyata mencapai hampir 205 juta pemilih, dengan lebih dari 50 persen pemilih perempuan. Di beberapa provinsi besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, rata-rata jumlah pemilih mencapai 30-an juta pemilih. Sebagai gambaran, jumlah pemilih di Jawa Barat yang mencapai 35 juta orang, lebih banyak daripada jumlah penduduk Australia yang sekitar 27 juta orang.
Para pemilih akan memberikan suara di lebih dari 820 ribu TPS untuk memilih presiden dan wakil presiden RI, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Total ada 20.462 kursi di lembaga-lembaga legislatif yang akan diperebutkan oleh lebih dari 200 ribu calon anggota legislatif.
“Pemilu di Indonesia sangat kompleks, dengan biaya yang sangat mahal. Dana yang dikelola oleh KPU RI saja mencapai hampir Rp 77 triliun, belum termasuk dana yang dikelola lembaga-lembaga lain untuk menopang aktivitas pemilu, termasuk di TNI dan Polri. Pemilu memang mahal, namun itulah biaya yang harus dikeluarkan untuk menegakkan demokrasi secara prosedural,” ujar Bamsoet dalam Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), secara virtual dari Jakarta, Rabu (23/8/23).
Turut hadir antara lain, Ketua Umum LDII K.H. Chriswanto Santoso, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Prof. Singgih Tri Sulistiyono, Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Izzul Muslimin, Paramadina Public Policy Institute Abdul Malik Gismar, dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Yudi Latif.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, di negara-negara Asia Tenggara khususnya dan Asia pada umumnya, pengelolaan Pemilu termasuk yang paling tertata dan kerap dijadikan rujukan. Namun di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, ada beberapa persoalan yang perlu diselesaikan. Misalnya terkait regresi demokrasi. Sejak tahun 2020, sudah ada beberapa publikasi, antara lain Thomas Power dan Eve Warburton (tahun 2020) yang menyoroti kekhawatiran demokrasi di Indonesia bergerak dari stagnasi menuju regresi dalam satu dekade terakhir.
“Sedangkan laporan Democracy Index dari the Economist Intelligence Unit tahun 2022 mencatat Indonesia memperoleh skor demokrasi yang sama pada tahun 2021, yaitu 6,71 dari 10. Tetapi secara ranking demokrasi Indonesia mengalami penurunan, dari posisi 53 ke posisi 54 dari total 167 negara,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, persoalan lainnya yakni politisasi identitas yang menjadi lebih jelas dalam beberapa tahun terakhir di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Dalam tiga edisi terakhir pemilihan, yakni Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pemilu 2019 telah terjadi polarisasi politik yang begitu besar. Hal tersebut tampaknya masih akan terus berlanjut pada Pemilu 2024, lantaran perbedaan afiliasi politik di antara masyarakat.
Sebagaimana terekam dalam laporan survei Litbang Kompas bertajuk “Tantangan Menepis Polarisasi Politik Pemilu 2024“, sebanyak 27,1 persen responden menilai sikap saling tidak menghargai pilihan atau intoleransi menjadi sumber utama terjadinya polarisasi ketika Pemilu.
Politik uang juga masih menjadi persoalan besar yang dihadapi. Merujuk hasil pemetaan kerawanan Pemilu dan pemilihan menyoal politik uang yang dilakukan Bawaslu pada tahun 2023, terdapat lima provinsi paling rawan yang perlu mendapatkan pengawasan ketat. Yakni Maluku Utara dengan skor 100, Lampung skor 55,56, Jawa Barat skor 50, Banten skor 44,44, dan Sulawesi Utara skor 38,89.
“Jika dilihat berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi politik uang. Semua kabupaten disana masuk dalam kategori rawan. Sembilan provinsi di bawah Papua Pegunungan adalah Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara,” terang Bamsoet.
Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Universitas Borobudur dan Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Unpad (PADIH Unpad) ini juga menyoroti tingkat kepercayaan publik terhadap pemilu dan penyelenggara Pemilu yang cenderung menurun tiap tahunnya. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam masa pra dan pasca Pilkada DKI 2017, serta pra dan pasca Pemilu 2019, membuktikan hal itu. Hasil survei tersebut menunjukkan penurunan kepercayaan publik dari 82,3 persen menjadi 78,1 persen. Selain itu, survei litbang Kompas pada awal tahun 2023 juga menunjukkan terjadinya penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap KPU hingga hanya menjadi 62 persen.
“Disisi lain, pengawasan rakyat pasca Pemilu juga masih lemah. Aktivitas pengawasan warga yang efektif memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan masyarakat yang demokratis. Pengawasan ini berfungsi sebagai kontrol terhadap kekuasaan pejabat terpilih, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memastikan implementasi kebijakan yang sesuai dengan kepentingan publik. Namun dalam implementasinya, pengawasan oleh warga negara cenderung melemah setelah pemilu dilaksanakan,” pungkas Bamsoet. (Lud)