Teropongindonesianews.com
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi individu. Kesehatan bukan hanya kesehatan fisik saja, melainkan juga kesehatan jiwa.
Penyakit fisik disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri maupun penurunan fungsi tubuh yang semuanya mudah diamati.
Gangguan jiwa disebabkan ketidakstabilan fungsi biopsikososial individu, walaupun ada pula yang terkait dengan ketidakberfungsian organ fisik atau neurologis tertentu.
Kesehatan jiwa lebih sulit untuk diamati sehingga sering kali mendapat perhatian yang cukup dari masyarakat.
Kesehatan jiwa menurut Undang Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan diri sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningktkan kesehatan jiwa masyarakatnya. Upaya dari kesehatan jiwa yang dilaksanakan pemerintah harusnya berasaskan keadilan, perikemanuasiaan, manfaat, transparansi, akuntabilitas, komprehensif, perlindungan dan non-diskriminatif.
Pasal 7 Undang Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa menyebutkan bahwa upaya promotif kesehatan jiwa salah satunya dimaksudkan untuk menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi orang dengan gangguan jiwa.
Di sisi lain, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) masih saja mengalami stigma (labeling, stereotipe, pengucilan,diskriminasi) sehingga mempersulit proses penyembuhan dan kesejahteraan hidupnya.
Stigma yang diberikan oleh masyarakat adalah mengganggap ODGJ berbeda. Akibat dari stigma tersebut, ODGJ menanggung konsekuensi kesehatan dan sosiokultural seperti : penanganan yang tidak maksimal, drop-out penggunaan obat, pemasungan dan pemahaman yang berbeda terhadap gangguan jiwa.
Stigma dapat menyebabkan timbulnya pengalaman pribadi atau terkait proses sosial yang ditandai dengan pengecualian, penolakan atau evaluasi sebagai hasil dari pengalaman atau antisipasi yang wajar dari penilaian sosial yang dapat merugikan tentang sesorang atau kelompok yang artinya kelompok masyarakat melakukan tindakan menghindari dan lari dari penderita gangguan jiwa karena timbul penolakan dari masyarakat akibat masyarakat perlu mengantisipasi kondisi yang dapat merugikan bagi dirinya yang menganggap penderita gangguan jiwa berbahaya sehingga perlu dihindari.
Stigma tidak saja dialami oleh ODGJ, namun juga dialami oleh keluarganya.
Stigma yang dialami keluarga berdampak negatif terhadap kesembuhan ODGJ karena menyebabkan sedih, kasihan, malu, kaget, jengkel, merasa terpukul, tidak tenang dan saling menyalahkan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas pengobatan yang diberikan kepada ODGJ.
Padahal keluarga adalah pemberi dukungan sosial yang paling penting bagi ODGJ karena ODGJ tidak mampu melakukan koping terhadap gangguannya, sehingga penanganan terhadap gangguannya dilakukan oleh anggota keluarga.
Stigma terhadap keluarga tentu saja membuat keluarga semakin kurang daya dukungnya terhadap penanganan ODGJ dan mengakibatkan berkurangnya kesejahteraan hidup ODGJ.
Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari pemerintah, lintas sektor serta masyarakat setempat dalam membantu penanganan ODGJ serta pentingnya promosi-promosi kesehatan jiwa yang dilakukan untuk mengurangi munculnya stigma terhadap keluarga dan ODGJ.
Salam sehat, sehat jiwa!
Penulis: dr. Angela Merici Sengo Bay-UPTD Puskesmas Kota Bajawa
Pewarta: Aloisius Ngaga.
Editor: Santoso.