Teropongindonesianews.com
Herlina Mariaty Nau Due
Pengamat Sosial-Politik, Tinggal di Padhawoli, Bajawa
Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila, yang dijabarkan dalam sebuah proses pemilu, sebagai perwujudan dari sila ke empat yang berbunyi, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Pemilu merupakan pesta demokrasi. Rakyat adalah tuan atas pesta tersebut. Rakyat memilih serentak menentukan pilihan dan melahirkan pemimpin sebagai representasi pilihannya. Dalam proses ini, rakyat mengoleksi, menyeleksi, serta memilih orang-orang yang akan mewakilinya.
Dalam konteks pemilu, rakyat bertindak sebagai wasit dalam mencari dan menentukan pilihan yang terbaik sebagai buah dari pesta demokrasi. Di sana terjadi proses seleksi-deseleksi.
Namun pada kenyataannya, kita terlalu banyak kehilangan figur potensial yang memiliki niat baik dan ide cemerlang dengan memraktekan praksis politik secara benar. Mereka adalah politisi bersih yang memiliki gagasan politik dan hati nurani tetapi tidak memiliki uang dalam berpolitik.
Artinya ada praktek politik yang salah. Yang walaupun salah, karena telah menjadi kebiasaan, seolah-seolah menjadi sah dan benar dalam praksis demokrasi kita. Ini berlaku, baik dari pihak parpol atau orang-orang yang dipilih maupun dari rakyat sebagai tuan dan pemilik demokrasi.
Muara demokrasi adalah “pro bonum commune”, tetapi bukan kepentingan yang memanipulasi suara rakyat. Pemilu adalah sarana menuju tujuan kebaikan masyarakat yang berakar pada rakyat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat seperti hak kaum buruh, petani, nelayan, dan lain sebagainya.
Kampanye Hitam
Kampanye merupakan salah satu tahapan dalam proses pemilu. Kampanye merupakan upaya menarik perhatian lewat pemberian janji dan harapan baru kepada masyarakat. Yang dengannya rakyat terobsesi kemudian terpaut pada janji dan harapan baru yang dijanjikan.
Kampanye sejatinya diaktulisasikan secara elegan dan mendidik, tetapi bukan panggung hiburan dan hura-hura yang tidak memberikan faedah bagi kemajuan peradaban demokrasi. Pada momen ini rakyat diarahkan pada pengenalan, kedekatan, penerimaan, dan komitmen untuk memilih.
Ini berseberangan dengan kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam adalah upaya menarik perhatian lewat penyampaian seuatu yang tidak berdasarkan fakta dan data. Isinya adalah kabar bohong (hoax), yang bermaksud menimbulkan ketidaksukaan lewat tuduhan dan atau tudingan kepada calon lain.
Bila kenyataan demikian yang terjadi berarti telah terjadi pembohongan publik melalui janji-janji manis dan mulus yang pada akhirnya tidak akan terealisasi setelah pemilu. Kampanye hitam akan mengaburkan sejarah masa depan dan serentak pula meniadakan kenangan akan cita-cita masa silam yang belum direalisasikan.
Politik Uang
Selain kampanye hitam, praksis politik yang menjadi cacat dalam praksis demokrasi kita adalah politik uang (money politic). Politik uang merupakan upaya menarik perhatian yang dibungkus dalam praksis pemberian bantuan, imbalan, pemberian materi atau sesuatu yang berharga.
Politik uang menjadi alat dan cara untuk meraih suara, dan biasanya terjadi dua arah, antara pihak yang menghendaki kekuasaan dan rakyat sebagai pemilik demokrasi. Karena telah menjadi kebiasaan, ini menjadi momen yang kerap dinanti-nantikan oleh masyarakat, yang berujung pada transaksi politik uang dan serangan fajar.
Praksis politik uang menjadi bukti rendahnya kesadaran politik, baik dari calon pemimpin maupun rakyat sebagai mahkota dan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara (John Locke).
Dalam situasi yang demikian rakyat telah kehilangan rasionalitas dan terbelenggu dalam memilih karena bayang-bayang ketakutan dan balas budi. Ini berarti tidak adanya ruang politik (political space) dan kebebasan dalam menentukan pilihan.
Praktek politik uang akan bermuara pada kepentingan pribadi. Jabatan akan digunakan untuk mengembalikan modal politik, sehingga program pembangunan tidak tepat sasaran dan lebih dari itu akan berujung pada praksis korupsi.
Pada akhirnya, pemilu akan menelurkan politisi bercita rasa pengusaha. Kelompok ini adalah kaum bandit berdasi yang memraktekan korupsi berjemaah dengan mengabaikan “pro bonum commune” demi mengembalikan modal politik.
* * *
Mengutip Franz Magnis Susesno, pemilu bukan memilih figur terbaik, tetapi mencegah figur jahat berkuasa. Pemerintahan yang bersih harus dimulai dari proses pemilu yang bersih tanpa praktek kampanye hitam dan politik uang, guna mencegah figur-figur jahat berkuasa.
Dengan intensi ini, rakyat bukan instrumen tetapi aktor yang menentukan sikap dan pilihan politik. Rakyat sejatinya mampu menentukan representasi pilihan politik secara rasional dan merdeka tanpa bayang-bayang kebohongan dan ketakutan dalam bentuk apapun.
Seharusnya rakyat dapat bijak dalam memilih karena pengenalan, kedekatan, penerimaan, dan komitmen terhadap parpol dan orang-orang yang dipilih. Agar tidak dibohongi, rakyat harus berani mencari kebenaran berdasarkan fakta dan data. Serentak pula harus berani menghindari praktek politik uang dengan tidak menggadaikan martabat demi setumpuk uang yang akan habis dalam sekecap.
Pewarta: Andreas.
Editor: Santoso.