
Teropongindonesianews.com
Andreas Neke.Pengamat Sosial, Tinggal di Padhawoli, Bajawa, NTT
Kita perlu prihatin mencermati situasi yang berkembang dewasa ini, secara khusus beragam informasi yang berseliweran di dunia maya. Keprihatinan muncul terutama menyangkut upaya-upaya provokasi yang bercorak dalil-dali agama.
Ini amat beralasan mengingat isu-isu agama merupakan hal yang amat sensitif dalam konteks hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Berbicara tentang agama, orang bisa larut dan nekat berbuat apa saja dengan mengabaikan situasi-situasi real lainnya yang sedang terjadi dalam masyarakat.
Satu keprihatinan dominan adalah pembicaraan yang berani tentang isi iman agama orang lain tanpa pengetahuan yang memadai tentang agama tersebut. Dalam mana hal ini tentu menyakiti agama tertentu karena menyajikan dalil-dalil sesat yang membahayakan kehidupan bersama.
Klaim kebenaran sepihak ini akan melahirkan kebenaran semu, kebencian, serta sikap saling curiga antara pemeluk agama. Bila sikap-sikap ini terbentuk dalam kalbu setiap pemeluk agama, selanjutnya kehidupan bersama akan terancam. Akan muncul beragam dampak buruk yang berujung pada kehancuran dan perpecahan bangsa.
Sampai kapan kita diam terhadap kenyataan ini. Pada kenyataannya kita tidak harus diam. Kita perlu terganggu secara moral untuk menjaga keutuhan bangsa dan kehidupan bersama sebagai umat manusia. Karena nilai tertinggi dari keberagamaan bukan agama dalam dirinya sendiri, tetapi nilai-nilai kemanusiaan.
Agama akan kehilangan nilainya, jika para penganutnya mementingkan doktrin-doktrin agama, tetapi mengabaikan nilai-nilai universal kemanusiaan. Para penganut agama, terutama para pemegang otoritas keagamaan, perlu mencermati kenyataan ini dengan atensi besar.
Relevansi Keagamaan.
Kehidupan beragama tidak boleh berhenti pada klaim-klaim kebenaran absolut dan merasa kebal salah. Pada sisi lain juga merasa puas dengan jargon-jargon agama sehingga berhenti pada praksis formalitas keagamaan.
Beragama yang demikian akan berujung pada kemapanan dan sikap berpuas diri, dengan mengabaikan situasi-situasi real kemanusiaan. Agama-agama harus menyadari diri sebagai komunitas relasional, yang berarti bahwa umat beragama hidup bagi kemanusiaan dalam ketersentuhan bagi sesama yang menderita karena berbagai situasi yang mereka alami.
Agama yang benar harus berujung pada ketersentuhan dan relevan dalam situasi kemanusiaan. Agama harus ber-ada “dalam dan untuk” nilai-nilai kemanusiaan. Tidak benar jika memperjuangkan nilai-nilai agama, tetapi mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Indonesia akan semakin baik dan beradab jika setiap umat beragama berlomba-lomba mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap situasi konkretnya. Sebaliknya akan makin melarat dan terbelakang, jika setiap umat beragama berlomba-lomba menyiarkan doktrin-doktrin agama dengan mengabaikan situasi-situasi real kemanusiaan yang sedang terbelenggu dalam berbagai situasi yang tidak manusiawi.
Situasi kebanyakan umat beragama di Indonesia masih sangat mudah tersinggung dan marah tentang dalil-dalil agama, tetapi apatis terhadap penderitaan-penderitaan sesama di sekitarnya. Ini artinya kita puas dengan agama dan dalil-dalilnya, serta serentak bangga pula dengan kemalangan dan penderitaan sesama.
Sudah saatnya kita cerdas dalam beragama. Kecerdasan akan terwujud jika masing-masing pemeluk agama membiasakan diri dengan budaya literasi. Beragama tanpa literasi akan terarah kepada kesesatan dan kehancuran.
Agama dan literasi akan mengarahkan setiap pemeluk agama pada eksistensi historis agama-agama. Beragama yang benar tidak boleh mengabaikan dimensi historis, karena dimensi historis akan mengajarkan agama-agama pada ketersentuhan pada situasi real kemanusiaan.
Akhirnya, beragama yang benar akan mengarahkan para penganutnya pada relevansi agama pada situasi dan nilai-nilai kemanusiaan. Doktrin-doktrin agama penting dalam beragama, tetapi lebih penting dari itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
Agama yang politis adalah agama yang relevan dengan situasi real kemanusiaan. Agama yang politis adalah agama tidak berhenti pada dalil-dalil keagamaan, tetapi ketersentuhan untuk peka dan tanggap pada sesama yang menderita dan melarat di sekitar hidup kita sehari-hari.
Andreas Neke